Paguyuban Reog Perempuan, Pemberdayaan dan Potensi Baru Wisata Melalui Kesenian

Baca Juga : Cara Mengolah Sampah 100 Ton di TPA Mrican Ponorogo agar Tak Menggunung

Portaltiga.com - Berbagai inovasi dalam bidang kesenian untuk mengemas hingga menjadi menarik dapat membuka potensi baru destinasi wisata budaya dan ekonomi masyarakat. Salah satu potensi kesenian yang dapat ditingkatkan adalah kesenian Reog Ponorogo. Jika selama ini di Indonesia kesenian Reog identik dengan pakem semua pemainnya adalah laki-laki, berbeda dengan kelompok kesenian reog perempuan bernama "Sardulo Nareswari" Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo, dimana hampir seluruhnya adalah perempuan. Fenomena kelompok Reog "Sardulo Nareswari" telah menarik perhatian Tim PKM (Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora (PKMP-SH) Universitas Airlangga. Tim ini beranggotakan Fajri Kurniararasanty, Gita Ayu Cahyaningrum, Isnaini Nur Amalina, dimana semua anggotanya tercatat sebagai mahasiswa di jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UNAIR ini. Mereka tertarik menggali lebih dalam tentang kesenian reog Ponorogo dari prespektif potensi perempuan. Dengan menyusun paparan dalam berjudul "Paguyuban Sardulo Nareswari: Perempuan dalam Kesenian Reog Ponorogo Menari Diantara Dominasi dan Keberagaman." Mengantarkan mereka berhasil lolos pendanaan dalam Program PKM Kemenristekdikti tahun 2018. Saat kita berbicara tentang kesenian Reog pasti secara otomatis akan mengacu Kabupaten Ponorogo. Dalam catatan kelompok ini di kota tersebut ada satu kesenian pertunjukan yang khas dimana sudah menjadi ikon daerah "Bumi Reog". "Mengisahkan Reog Ponorogo rupanya tak pernah sepi dari pamrih oleh berbagai pihak demi kepentingan di luar kesenian itu sendiri. Dan Reog berada dalam kompleksitas pertentangan di kalangan masyarakat Ponorogo," jelas Fajri. Pertunjukan Reog disajikan dalam bentuk sendratari, suatu tarian dramatik yang tidak berdialog. Dari setiap tarian ini mewakili isi dan tema cerita tersebut. Hanya, selama ini sajian Reog hampir keseluruhan diperankan oleh penari laki-laki kecuali tari jathilan yang dimainkan oleh perempuan. Dalam sejarahnya, tari Jathilan ini semula diperankan laki-laki yang busana perempuan. Ini merupakan penggambaran dari Gemblak, laki-laki belasan tahun yang diasuh sang Warok sebagai kelangenan (kesukaannya), sebagai upaya menjaga kesaktiannya. Namun karena sosok gemblak itu tidak sesuai dengan norma agama, Pemkab Ponorogo tahun 1985 membuat kebijakan dan mengubah tari jathilan oleh penari perempuan. Pergeseran penari jathil oleh perempuan itu bertahan hingga sekarang. Adanya fenomena itu, merupakan tantangan bagi Fajri dan kelompoknya untuk menguak lebih jauh dari sisi kaum hawa. Selain itu tantangan budaya di masyarakat juga masih memposisikan perempuan berada dalam strata dibawah laki-laki. "Kami ingin mengkaji kehidupan perempuan dalam dunia kesenian, sebab seni dan perempuan adalah sebuah ambivalensi yang menimbulkan dua pandangan berbeda di masyarakat. Satu sisi perempuan dianggap sebagai korban eksploitasi, disisi lain perempuan dalam seni tradisi diaggap sebagai pendobrak dominasi laki-laki," kata Fajri. Paguyuban seni Reog perempuan "Sardulo Sareswari" ini terbentuk dengan niatan untuk memberdayakan perempuan di Desa Sawoo. Menurut Heni Astuti, selaku pendiri paguyuban reog perempuan ini karena pihaknya ingin membuat gebrakan baru dalam khasanah seni Reog Ponorogo. Menurut Heni Astuti, nama "Sardulo Sareswari" itu memiliki arti filosofis tersendiri. Sardulo berarti macan (harimau), sedang Nareswari berarti perempuan atau bidadari. Kalau selama ini pakem Reog adalah laki-laki, dalam inovasi baru ini ingin ditunjukkan sisi yang berbeda dari pakem awal yang dominasi oleh laki-laki, namun tetap dapat menunjukkan sisi keperempuannya. Terbentuknya paguyuban "Sardulo Nareswari" ini memberi dampak bagi perempuan Desa Sawoo dan masyarakat sekitarnya. Paguyuban ini telah beberapa kali melakukan pementasan di berbagai daerah, tidak hanya di Ponorogo, tetapi juga diluar Ponorogo. Pementasan di luar wilayah domisilinya membuat para perempuan ini berani tampil di depan umum. Kontruksi masyarakat yang menyatakan perempuan hanya konco wingking (teman belakang) mampu dikikis dengan adanya kiprah Reog perempuan ini. Kemudian muncul pula nilai-nilai kemandirian dalam perempuan di Desa Sawoo. Ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya perempuan berkontribusi dalam pekerjaan diluar sebagai ibu rumah tangga. Menurut kajian Fajri dan kelompoknya, keberadaan paguyuban ini jika dikembangkan lebih jauh akan dapat memberikan potensi wisata budaya baru bagi Kabupaten Ponorogo, khusunya Desa Sawoo. Paguyuban Reog perempuan ini mampu berkembang menjadi salah satu ikon baru dan identitas Ponorogo, terutama seni Reog yang selama ini dipentaskan oleh laki-laki punya satu sisi unik yang dipentaskan oleh perempuan. "Destinasi wisata budaya baru ini mampu menarik perhatian masyarakat karena memiliki sisi unik yang dikemas dalam sebuah seni pertunjukan. Terlebih lagi adanya pementasan Reog perempuan ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di kalangan masyarakat dan meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo," hasil kesimpulan Fajri Kurniararasanty dan kelompoknya dalam kajian PKMP-SH-nya. (doy/tea)

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait
Berita Terpopuler
Berita Terbaru