Politika

Dian Harumi: Dari Akuntansi Hingga Sukses di Raksasa IT

Portaltiga.com, SURABAYA - Sukses di negeri sendiri, itu hebat. Didiskriminasi, jadi minoritas dan mengalami culture shock tapi malah sukses di negeri orang, itu luar biasa. Demikianlah sosok dari Dian Harumi Paramita, Alumni Jurusan Akuntansi Angkatan 2002 Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS). Perempuan cantik yang pernah menjadi Internasional Muslim Fotomodel di San Fransisco dan California itu kini sedang menjabat sebagai Community Manager untuk Google+. Di perusahaan raksasa teknologi informasi itu, ia memulai karir sebagai product development specialist. Jadi ada beberapa feature di Google+ yang merupakan hasil riset dan analisis saya dan tim saat itu. Pekerjaan saya saat ini melingkupi business strategy, product management dan marketing analysis yang dasar-dasar ilmunya memang saya dapatkan dari pengalaman berkuliah di Jurusan Akuntansi UKWMS dulu, ungkapnya. Ibu dari dua anak perempuan ini mengaku awalnya tidak menyukai akuntansi.  Bahkan,  ia ingin masuk ke jurusan ekonomi murni, atau public relation. Waktu itu saya berubah pikiran karena mendengarkan pesan almarhumah Ibu saya, bahwa akuntansi banyak cabang ilmunya dan akan selalu bisa dipakai di bidang pekerjaan apapun. Ternyata benar, dari sana saya menyimpulkan bahwa dalam belajar; pilihlah apa yang kamu sukai dan jangan hanya menghapal teori, tapi pahamilah. Suatu saat itu pasti akan bisa kamu pergunakan, tuturnya. Semasa kuliah, Dian senang duduk di baris terdepan terutama pada matakuliah-matakuliah yang ia sukai seperti Manajemen Pemasaran, Sistem Informasi Akuntansi dan Manajemen ataupun Pemeriksaan Akuntansi. Masih ingat juga ajaran Pak Ariston (Ketua Jurusan Akuntasi UKWMS), kontrol itu seperti dokter, kalau kamu ingin memperbaiki sesuatu, kamu harus tahu apa penyakitnya dan apa solusinya. Sampai sekarang saya juga masih hapal luar kepala ajaran tentang flowchart, loh! karena memang selalu  kepake, seloroh perempuan yang akrab disapa sebagai Yeyen tersebut. Dian lantas berbagi pengalamannya belajar disiplin dan pentingnya sikap toleransi dari keterlibatannya selama di organisasi kemahasiswaan. "Saya masih ingat, dulu setiap mau rapat, semuanya selalu datang on time. Setiap jam sholat, mereka akan bertanya atau mengingatkan saya agar rapat dihentikan dulu untuk memberi saya kesempatan untuk sholat. Demikian juga sebaliknya saat jam misa. Itu hal kecil, tapi setelah merasakan culture shock di America, saya baru sadar itu adalah tindakan toleransi yang 'luar biasa', ujarnya. Di sana untuk sholat saja Dian pernah harus melakukannya di lahan parkiran, karena minimnya masjid dan mushola. Salah satu pengalamannya yang mengagetkan, tiba-tiba saat sedang sembahyang, ada mobil polisi lengkap dengan sirene datang mendekat. Ternyata ada yang menelepon polisi karena mencurigai penampilannya yang berhijab. Untunglah saya bisa membela diri dan membuktikan dengan kartu permanent resident saya yang bersih dari catatan kriminal. Di sana fenomena Islamophobia memang terjadi, namun bila kita mengikuti aturan yang ada, ada banyak juga orang-orang yang menghargai kita apa adanya. Polisi- polisi itu kemudian malah meminta maaf saat mengetahui catatan saya yang bersih. Culture shock ironisnya tidak hanya saya alami di Amerika. Saat saya pulang ke Indonesia, saya lebih kaget lagi dan prihatin saat melihat orang sini tidak mau mengantri dan saat diingatkan malah marah, demikian Dian menguraikan pengalamannya. Dian menyampaikan, mungkin banyak orang melihat bahwa bekerja di Amerika kelihatan keren, enak dan sebagainya. Tapi sebenarnya saat bekerja di negeri orang ada banyak hal yang harus siap dihadapi, terutama culture shock. Karena saya lahir dan besar di Indonesia, bahkan saat berkuliah di Universitas Katolik sekalipun, saya ada di lingkungan yang mentoleransi kebutuhan religius saya. Tentu saja pengalaman-pengalaman penolakan seperti itu membuat saya kaget. Tapi di dalam dunia yang sudah sangat global, kita harus tahu dan bisa menyesuaikan strategi tanpa harus kehilangan jati diri sendiri, pungkasnya. Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Bisnis UKWMS tersebut juga menyampaikan, dalam berusaha mencapai kesuksesan orang harus berani gagal. Harus berani mengambil resiko kehilangan apa yang sudah dibangun dengan susah payah sebelumnya, menerima hinaan dan pelecehan. Sebagai keturunan Tionghoa dan Jawa Muslim, dari kecil saya sudah merasakan pengalaman di-bully. Saya pernah menangis saat dibilang ular, sapi, cina karena penampilan dan kulit yang lebih terang dari kebanyakan teman-teman saya. Bahkan ada sahabat yang tidak mau lagi berteman dengan saya setelah tahu saya keturunan Tionghoa. Apa yang saya alami itu adalah diskriminasi yang saya alami di negeri sendiri, tetapi ada hikmahnya, ungkap Dian. Pengalaman itu membuat Dian kuat menghadapi diskriminasi di Amerika. Ia berpendapat bahwa semakin dilawan, perlakuan diskriminasi itu akan semakin menjadi. Namun jika kita bisa menunjukkan dengan sikap dan perilaku yang benar, tidak pernah menyakiti orang lain secara sengaja atau melanggar aturan yang berlaku, maka orang lain akan melihat faktanya dan lambat laun menghargai kita apa adanya. Di akhir acara, Dian berpesan pada adik-adik angkatannya, jangan buang waktumu sedetik pun, masa depanmu ditentukan dari detik ini. Semua orang ingin sukses, pertanyaannya seberapa besar kamu menginginkannya? Kesuksesan itu bisa dicapai, tapi harus melewati anak tangga yang banyak pakunya. Kita ngga bisa naik lift. Do good and be kind, no matter what! (Berbuatlah baik dan jadilah orang yang baik, apapun yang terjadi!). Punya pendidikan yang baik, sukses, tapi berbuat jahat itu hanya akan membawa keburukan pada dirimu sendiri. Jagalah moralmu, dan selalu belajar karena pengetahuan adalah senjatamu untuk kehidupan yang lebih baik.

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait