Headline

Escape From NII: Perjalanan ke Markas dengan Mata Tertutup 9

Baca Juga : Bom Bunuh Diri Guncang Polsek Astana Anyar, Ini Seruan Ansor Jatim

Penulis: Ika Maya Suara derap kereta api yang sangat dan selalu kusukai mengantar lamunanku kepada hidupku sebelum berangkat hijrah ini. Impian tinggiku untuk bersekolah, cintaku pada kehidupan kampusku Unair, proses berteaterku malam-malam di Puska, terbayang teman-teman kuliahku di Antropologi Sosial, kegiatanku di SKI, kegiatan diskusi karya sastra di lorong FISIP, dan warung kopi emak depan kampus. Ah saya merasa begitu jauh dan begitu berbeda sekarang. Apa ada dari mereka yg sudah terdoktrin ajaran ini? Kalau ada, kira-kira siapa? Apa mungkin, teman-temanku di SKI? atau Puska? Atau anak Antropologi sendiri? Hijrah ini adalah proses pensucian diri. Ketika seseorang belum berhijrah ke NII maka segala ibadah yang dia lakukan di NKRI akan sia-sia. Ibadahnya dianggap ibadahnya orang kafir, jadi tak akan dia masuk surga. Itu adalah bahan bakar ampuh yang mereka sirami di dalam hati dan otak calon yg direkrut. Kemudian mereka sulut dengan api ayat-ayat yang sudah dipelintir dan digunakan untuk kepentingan ini. Ketakutan yang amat sangat untuk masuk neraka, inilah yang digunakan para militan NII untuk mempengaruhi subjek. Pagi hari sekitar jam 9 kami tiba dan turun di Stasiun Jatinegara. Ada insiden yang saya sesalkan dan sampai sekarang kalau mengingatnya saya jadi jengkel dan ingin menangis: jaket hijau tentara kesukaanku yang dibelikan oleh Mamakku terjatuh di kereta ketika kami hendak turun melewati jejalan manusia. Saya berusaha keras merekam di otak semua lokasi dan wajah-wajah orang yang mengantar kami, tujuan saya adalah satu: melindungi teman-teman lainnya yang belum terdoktrin. Kami berjalan keluar stasiun dan menuju ke pinggir jalan yang letaknya cukup jauh dari stasiun. Di situ telah menunggu sebuah mobil Kijang. Mereka begitu terorganisir dan kompak sekali. Lagi-lagi kami bertemu dengan mas ektrem berwajah baru. Terlalu banyak wajah baru, sangat menyulitkan bagi saya untuk mengingatnya. Naiklah kami berlima ke dalam mobil tersebut. Ketika sudah di dalam mobil, si mas ekstrem memerintah kami untuk menutup mata. Tutup mata dulu ya, lokasi kita harus aman biar ga bocor ke pemerintah. Benci! Benci! Benci! Terlalu banyak rahasia yang malah membuat saya ingin berontak dan mencari tahu. Untunglah saya duduk dekat jendela. Saya sandarkan kepala saya ke jendela dan dengan sedikit menutup mata saya dengan lengan. Dang dang trang.... dang dang trang... Jet Li mulai melenggok dengan gemulainya di dalam otak saya. Saya harus mengintip! Saya harus lihat jalannya! Dengan sangat berhati-hati saya mencoba mengintip dari balik lengan. Ah sial!! Si mas ekstrem menoleh ke arahku. Jet Li terpaku pada posisinya, musik kempyengan pun terhenti. Adek kenapa kok kepalanya nyandar ke jendela? Duh!! Kepala saya puyeng ni mas kalo matanya merem naik mobil. Oya udah, sandaran aja kalau gitu tapi jangan ngintip ya. Iya mas. Iiih gemes! Tahu aja dia kalau saya memang mau mengintip. Setelah si mas ekstrem tak curiga, saya melanjutkan aksi saya. Ooh kami dibawa ke daerah Jakarta Selatan. Ah mana nama jalannya ini, sulit sekali mengecek dengan posisi sudut pandang terbatas seperti ini. Saya pasrah karena tak mendapat info nama jalan apapun di sepanjang perjalanan ini. Kami memasuki kompleks perumahan entah dan berhenti di sebuah rumah. Mobil masuk ke dalam garasi dan cepat-cepat ditutup. Kami masih di dalam mobil. Kami pun disuruh turun dan boleh membuka mata. Selamat datang di Negara Islam Indonesia! Hah?! Negara?! Cuma sepetak rumah ini?! Guyon cak!! Lagi-lagi semua jendela di rumah ini tertutup rapat. Kami tak bisa melihat pemandangan apapun di luar. Dalam kondisi kelelahan, kami disuruh lekas-lekas mandi dan sarapan nasi bungkus yang sudah disediakan. Banyak sekali orang di dalam rumah ini. Datang lagi rombongan baru, lagi, lagi. Kulihat banyak orang berpakaian putih dan berpeci di sini dengan logat Betawi yang kental. Aku harus bisa bicara dengan seseorang!! Pekikku dalam hati. (bersambung) * Penulis adalah alumnus Jurusan Antropologi FISIP Unair dan mantan Ketua Teater Puska Surabaya

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait