Opini

Anas, Nyono dan Sandera Joko Tarub

Baca Juga : Risma Pantau Pendangkalan Sungai di Kota Madiun, Punya Solusi Begini

Esai: Mochtar W Oetomo Sore yang cantik di tahun 1450-an. Seorang jejaka dari Desa Tarub (kini di wilayah Tawangharjo Grobogan) yang kelak dikenal dengan nama Jaka Tarub, tengah berburu hewan buruan di tengah hutan. Rasa lelah dan haus membawa langkah kakinya menuju sebuah telaga yang kelak dikenal sebagai Telaga Widodaren (kini masuk wilayah Ngawi). Sayup-sayup terdengar suara canda riang dan kecipak air dari arah telaga. Dengan menajamkan pendengaran dan penglihatan Jaka Tarub berjalan mengendap di antara rimbun belukar, guna menelisik suara canda riang apa dan siapakah gerangan. Karena sepanjang hayat ia berburu di hutan dan selalu beristirahat di telaga itu tak sekalipun bertemu dengan perempuan, kecuali para pengembara, pemburu dan pencari kayu hutan. Begitu Jaka Tarub sampai pada posisi yang strategis untuk mengintai apa yang terjadi di telaga, kedua bola matanya terbelalak. Wooooww ! Tujuh perempuan muda nan jelita tengah mandi sembari bercanda riang. Wajah cantik dan tubuh molek yang sekalipun belum pernah terbayangkan oleh Jaka Tarub. Tubuh molek dan mulus tujuh perawan jelita di depannya benar-benar membuat andrenalin dan hasrat mudanya menggelepar-gelepar. Dengan nafas memburu dan kaki bergetar Jaka Tarub bergeser perlahan ke arah tumpukan baju dan selendang yang tercecer di sisi lain telaga. Dipungutnya sepasang pakaian dan selendang, secepat kilat ia sembunyikan di balik bajunya dengan rapi dan aman. Dan tibalah waktunya. Saat lembayung senja mulai mengambang di ufuk barat. Ketujuh gadis bergegas keluar dari telaga. Menghampiri pakaian dan selendangnya yang tercecer, mengenakan dan segera menghambur meninggalkan telaga. Satu di antara mereka justru menghambur kembali ke dalam telaga, menyembunyikan tubuh telanjangnya di kedalaman air telaga sambil teriak-teriak minta tolong diantara isak tangis. Ya ya ya. Rupanya pakaian dan selendang gadis inilah - yang kelak diketahui bernama Nawang Wulan- yang telah diambil dan disembunyikan oleh Jaka Tarub. Hingga dia tak mungkin meninggalkan telaga menyusul 6 kerabatnya yang telah berlalu dan tak terdengar lagi suaranya. Maka begitu menyadari kondisinya yang sendirian, tanpa selembar kain, di telaga tengah hutan, pecahlah teriak dan tangis Nawang Wulan. Pecah sepecah-pecahnya. Berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan pada sesiapapun yang mendengarnya. Ya ya ya. Umpan yang dilempar Jaka Tarub telah dimakan oleh sang ikan. Pendeknya Jaka Tarub lah satu-satunya manusia di tempat itu yang punya kesempatan untuk menolong sang gadis. Dan umpan berikutnya dilempar oleh Jaka Tarub, ia bersedia menolong Nawang Wulan mencarikan pakaian ke desa terdekat dengan satu syarat, 'Nawang Wulan harus mau menjadi istrinya'. Ckckckck ! Sebuah tragedi penyanderaan yang manis atas diri Nawang Wulan. Sehingga Nawang Wulan terpojok pada pilihan yang mau tak mau suka tak suka harus diambilnya. Sebab tak mungkin dirinya selamanya berendam tanpa selembar kainpun di dalam telaga. Sementara mengharapkan pertolongan dari orang lain di tengah hutan perawan seperti ini jelas adalah sebuah mimpi. Maka Nawang Wulan hanya bisa menganggukkan kepala tanda setuju, sekaligus juga mengajukan satu syarat, bahwa selama menjadi suaminya Jaka Tarub tak boleh bertanya tentang siapa dan darimana dirinya, serta tak boleh membuka penutup kuwali saat dia tengah memasak. Deal. Dan terjadilah kesepakatan saling sandera itu. Karena dorongan kepentingan instrumental masing-masing pihak. Ya ya ya. Sebagaimana Abdullah Azwar Anas tak punya pilihan, harus mundur sebagai Bacawagub-nya Gus Ipul dan digantikan oleh Puti Guntur Soekarno, pasca foto paha yang menggelegar di langit Jatim. Secara hukum dan substansi politik sesungguhnya tak cukup ada alasan kuat untuk memaksa Anas mundur dari pencalonannya. Tapi sandera ala Jaka Tarub benar-benar membuatnya tak berdaya, tak punya pilihan. Saat Anas mencoba bertahan, satu persatu foto lain yang diduga mirip dengannya terus bermunculan. Dari satu foto ke foto lain semakin memojokkan dirinya dalam kubang gelap aib dan nestapa. Maka tak ada pilihan lain, Anas harus seperti Nawang Wulan yang hanya bisa menganggukkan kepala dan mestinya sebagaimana Nawang Wulan, ia juga memberikan sebuah syarat. Jika tidak, mana mungkin kasus foto itu hilang lenyap begitu saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Jika tidak, mana mungkin Sekjen PDIP sampai menangis berderai duka air mata membela kesialan nasib Anas. Ya ya ya. Mungkin begitu yang bakal terjadi pada Bupati Jombang Nyono Suharli berkaitan dengan pilihan sikapnya terhadap kelanjutan pencalonannya untuk yang kedua kali di Pilkada Jombang 2018 pasca ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Meski KPU menyatakan bahwa Nyono masih bisa melanjutkan pencalonannya karena statusnya belum terdakwa, tapi agaknya Nyono juga bakal sulit lepas dari sandera ala Jaka Tarub. Jika dia tidak mundur dari pencalonan bisa jadi musuh-musuhnya, Jaka Tarub - Jaka Tarub yang lain telah siap untuk menyingkap dan membuka aib-aib nya yang lain, yang bisa saja akan semakin menjerembabkannya dalam duka nestapa yang lebih dalam dan berkepanjangan. Sebagaimana Nawang Wulan sepertinya Nyono juga tak punya pilihan kecuali menganggukkan kepala saat kelak akan diminta oleh banyak pihak untuk mundur dari pencalonan. Kecuali Nyono memiliki bentuk sandera lain yang jauh lebih kuat sehingga mampu menyandera balik para penyanderanya dengan lebih tajam dan menawan. Jika tidak maka pilihan logis ala Nawang Wulan dan Anas adalah hal yang paling mungkin akan diambil oleh Nyono. Ya ya ya. Inilah kurang lebih wajah Pilkada serentak kita. Penuh sandera ala Jaka Tarub sejak sesi kontestasi hingga akhir pencoblosan nanti. Bahkan mungkin hingga 5 tahun masa jabatan bagi sang pemenang nanti. Saling sandera antar kandidat dan pengurus partai pada masa berburu rekom. Hingga lahirlah noktah-noktah perpecahan antara pengurus DPC, DPD hingga DPP karena perbedaan kepentingan dalam mempertimbangkan calon. Saling sandera antar-kekuatan dan komunitas dan bahkan ormas dalam aksi dukung mendukung terhadap kandidat, sehingga menimbulkan percik-percik konflik horisontal di tengah masyarakat. Hingga saling sandera antar parpol, kandidat dan pemodal yang berlingkar binar bagai lingkaran setan yang tak berujung dan berpangkal. Sekali lagi, bahkan bisa berkepanjangan setelah para kandidat menang dan terpilih. Belum tentu dia bisa lepas dari jerat sandera ala Jaka Tarub. Dan terpaksa hanya punya pilihan ala Nawang Wulan di depan para partai pengusung dan pemodalnya, dan tentu saja sembari mempersiapkan counter sandera bagi para penyanderanya. Ya ya ya. Inilah wajah Pilkada kita yang penuh sandera. Yang dengan kuasa konstruksi wacananya membuat rakyat ikut tersandera hanya menjadi penonton dan penikmat dongeng Jaka Tarub. Dipaksa percaya bahwa tujuh gadis yang mandi di dalam telaga adalah para bidadari dari kahyangan yang ngejawantah. Dipaksa mengiyakan bahwa Jaka Tarub adalah jejaka tampan dan baik hati yang layak dan pantas mendapat kan cinta Nawang Wulan. Terlepas dari segenap langkah liciknya. Sebagaimana rakyat hanya mampu menjadi penonton dan penikmat dongeng-dongeng manis para kandidat untuk kemudian hadir menjadi relawan atau simpatisan dan kemudian hilang begitu saja dari peredaran kepentingan saat sang jago telah menang. Kembali dan kembali menjadi objek atas nama pembangunan dan kemajuan. Padahal sesungguhnya Sang Jaka Tarub, Sang Penyandera hanyalah menunggu waktu sejenak atas jaring sandera yang dilemparkan kepada dirinya oleh Nawang Wulan. Pada waktunya Jaka Tarub akan tiba pada situasi dan kondisi dimana dia harus membuka tutup kuwali tempat Nawang Wulan memasak. Dan pada akhirnya Jaka Tarub akan tiba pada masa dimana Nawang Wulan menemukan selendangnya di antara tumpukan padi di dalam lumbung. Memblejeti semua aibnya dan meninggalkannya dalam duka nestapa. Ya ya ya. Merebaknya money politics dalan berbagai gelaran Pilkada sesungguhnya adalah satu bentuk penyanderaan pemilih pada para kandidat. Dimana kelak saat menang sang kandidat tak punya pilihan lain untuk melakukan KKN demi mengumpulkan kembali koin-koin yang telah ia sebarkan selama masa kontestasi dan kampanye. Maka saat KPK Nawang Wulan menemukan selendang di antara padi di dalam lumbung para kandidat pemenang, sebagaimana yang dialami oleh Zumi Zola dan Nyono Suharli pekan-pekan terakhir ini dan banyak kepala daerah lain pekan-pekan sebelumnya, pada saat itulah sebagaimana Nawang Wulan yang meninggalkan Jaka Tarub, rakyat pun akan meninggalkannya dengan tanpa kesan. Dalam derai dan duka air mata. Sepi dan sendiri menjemput hari-hari yang tak pasti. Jadi kita nikmati saja lakon Sang Jaka Tarub selanjutnya. Jreng jreng...!! *)Penulis adalah Dosen Universitas Trunojoyo Madura

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait