Opini

Upaya Generasi Muda sebagai Pelopor Sebaya pada Isu Online Child Sexual Exploitation and Abuse

Portaltiga.com - Sejak pandemi Covid-19 melanda di Indonesia menyebabkan banyak perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yaitu social distancing yang menyebabkan penutupan sekolah yang hampir menyeluruh di Indonesia dan membuat anak-anak memiliki kebiasaan baru untuk mengakses internet dan media sosial untuk tetap berkomunikasi dan melakukan kegiatan pembelajaran dari rumah.

Akses internet memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengeksplorasi kreativitas dan pembelajaran mereka dengan melakukan peningkatan kemampuan digital yang sesuai.

Hal ini dibuktikan dengan data Baseline Survey OCSEA yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia, KemenPPPA RI serta UNICEF 2023 yang menunjukkan bahwa 99,4% anak-anak menggunakan internet dengan menghabiskan waktu sekitar 5 jam sehari di rumah, sedangkan sebagian lainnya mengakses internet di sekolah, 49,1% anak-anak berbagi aktivitas di ranah daring dengan seseorang karena anak - anak masih naif dalam berteman dan 37,5% anak tidak mendapatkan informasi cara berinternet yang aman sehingga memungkinkan 69% anak terjebak dalam kerentanan online.

Dari hal tersebut, kita bisa melihat bahwa internet juga merupakan platform yang menawarkan berbagai peluang untuk melakukan kejahatan yang canggih dengan bersifat anonim. Berbagai platform tersebut yang membuat anak-anak menjadi lebih rentan dan menjadi sasaran empuk para pelaku Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA). Kemudahan anak-anak dalam mengakses internet telah memberikan ruang bagi para pelaku untuk melakukan aktivitas serta tujuan mereka secara anonim.

Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) merupakan keterlibatan dalam aktivitas seksual daring dengan anak di bawah umur penggunaan ancaman, paksaan, atau penyalahgunaan dilakukan oleh orang yang diidentifikasi memiliki kepercayaan, pengaruh, atau otoritas terhadap anak tersebut, termasuk keluarga dekat dan keluarga besar; atau penyalahgunaan dilakukan oleh posisi atau situasi anak yang sangat rentan, terutama karena kondisi disabilitas atau ketergantungan mental atau fisik.

Pada dasarnya, banyak kebijakan yang telah ditetapkan seperti Perubahan Kedua UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Akan tetapi, berbagai aturan hukum tersebut belum mengatur secara khusus tindak eksploitasi seksual anak di ranah daring atau OCSEA, sehingga kasus-kasus seperti grooming online, sexting, sextortion dan live streaming terhadap anak belum mendapatkan jaminan kepastian hukum.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya praktik OCSEA diantaranya adalah kurangnya pemantauan dan pengawasan orang tua terhadap aktivitas online yang dilakukan oleh anak. Hal ini dapat menjadi langkah perlindungan yang penting bagi anak-anak. Namun, sangat penting untuk mengakui bahwa kesadaran orang tua dalam berkomunikasi pada anak mungkin kurang dalam beberapa kasus dan dapat menyebabkan kerentanan anak-anak dan remaja terhadap risiko kejahatan online.

Orang tua memiliki peran yang lebih besar dalam penyebaran OCSEA. Pengalaman orang tua dengan teknologi digital dapat menentukan diskusi keamanan online yang orang tua lakukan dengan anak-anak mereka. Oleh karena itu, pengetahuan orang tua tentang keamanan online harus ditingkatkan agar mereka dapat mendukung anak-anak mereka secara efektif.

Faktor lain yang menyebabkan OCSEA adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman anak tentang hak mereka. Banyak orang masih kurang memahami pentingnya melindungi anak-anak dari semua jenis kekerasan, terutama kekerasan di internet. Anak-anak yang menjadi korban seringkali takut melapor ke orang tua atau pihak berwajib karena mereka takut mendapat ancaman dari pelaku. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap anak.

Baca Juga : Menilik Pekerja Anak di Indonesia: Upaya Apa yang Bisa Dilakukan?

Jika pelaku tidak ditindak atau tidak dihukum dengan tegas, dapat menyebabkan lingkungan yang tidak aman bagi anak-anak dan memicu lebih banyak kasus kekerasan. Ketidaksetaraan sosial, kemiskinan, dan ketidakstabilan ekonomi dapat meningkatkan risiko OCSEA pada anak. Pada intinya OCSEA hanya memberikan dampak buruk bagi kondisi fisik maupun psikis anak yang menjadi korban dan dapat menyebabkan trauma berlebih, bahkan sering kali korban mendapat sanksi sosial berupa dikeluarkan dari sekolah dan dikucilkan dari lingkungan sekitarnya seolah ini merupakan kehendak dari korban itu sendiri.

Melihat hal tersebut, peningkatan kesadaran masyarakat terutama generasi muda terhadap pencegahan kasus OCSEA di Indonesia masih harus melewati perjalanan yang panjang.

Generasi muda memiliki peran penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan OCSEA. Sebagai pelopor sebaya, generasi muda harus menjadi agen perubahan yang aktif dalam pencegahan kasus OCSEA. Generasi muda sebagai pelopor sebaya juga diharapkan dapat menyadarkan generasi muda yang lain tentang cara menggunakan internet dengan aman.

Baca Juga : Tren Skincare dalam Gaya Hidup Generasi Muda

Mewujudkan kesadaran bagi anak-anak dapat dilakukan dengan berbagai hal sederhana seperti kampanye advokasi yang edukatif dan kreatif yang melibatkan teman sebaya yang masih berusia anak-anak. Sebagai pelopor sebaya, generasi muda juga dapat memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk kampanye tentang keamanan digital.

Lebih penting lagi, keberanian untuk melaporkan segala bentuk kekerasan atau pelecehan seksual online harus terus tertanam pada jiwa generasi muda. Anak-anak dan generasi muda perlu didorong agar berani untuk melapor kepada orang tua, guru, forum anak, UPTD atau Dinas PPPA setempat, atau layanan Call Center SAPA 129 yang dikelola oleh KemenPPPA RI. Dengan adanya sinergi antara kesadaran diri, pendidikan, dan keberanian untuk melapor, generasi muda dapat menjadi benteng utama dalam menciptakan dunia digital yang lebih aman dan inklusif bagi semua.

Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) merupakan bentuk kejahatan serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan teknologi yang terus berkembang, interaksi anak-anak teknologi digital harus dipantau oleh orang tua, pengasuh, atau orang dewasa yang bertanggung jawab untuk melindungi mereka dari mengakses konten berbahaya secara online.

Melalui advokasi dan edukasi, pengawasan, serta penerapan peraturan yang tegas, kita dapat menggerakkan upaya generasi muda sebagai pelopor sebaya untuk mengurangi risiko OCSEA dan melindungi masa depan anak-anak dari ancaman eksploitasi seksual di dunia maya.

Penulis: Afina Karima, mahasiswa FISIP Program Sarjana Universitas Airlangga

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait

SAMBO (SAM)MBOH

Kasus pembunuhan Brigadir J yang dilakukan (Irjen) Sambo sangat menyita perhatian khalayak ramai. …