Baca Juga : Rindu Pulang, Sambal dan Budaya Lokal
Segala sesuatu yang berbau luar negeri, masih banyak dianggap lebih baik. Apalagi jika merk tersebut rare (langka) Kebanggan pada merk dalam negeri pada kenyataannya masih rendah. Stigma yang ada, merk Indonesia bermutu rendah dan buruk kualitasnya. Akbar Al Maghrobi bergegas memasuki sebuah kafe di kawasan Pucang, Sabtu (28/12/2019). Pengusaha muda bidang konveksi langsung menuju salah satu meja yang ada. Begitu duduk ia langsung memesan secangkir kopi pahit, tanpa gula. Sembari menunggu pesanan, lelaki 30 tahun tersebut mengambil ponselnya. Ia mengambil posisi sangat rileks. Ponsel itu dipegang kedua tangan, di atas perutnya. "Lihat-lihat sepatu. Siapa tahu ada yang cocok," ucap lelaki yang biasa disapa Robi ini. Ia sibuk menggerakkan jarinya men-scroll layar terkadang atas-bawah, kadang kanan-kiri. Ia memburu barang di sebuah akun instagram. Kafe yang semula sepi, lama kelamaan juga bertambah ramai. Ada sepasang remaja, terlihat mengenakan t-shirt couple dipadu celana jins bolong-bolong yang lagi tren. Sepatunya model sneaker. Terlihat merk tenar dari luar negeri. "Tetap ketoro kalau itu bukan produk asli," celetuk Robi dengan nada lirih. Setelah itu ia langsung terkekeh pelan-pelan. Robi masih sibuk melihat foto-foto sepatu yang ada. Ternyata, warga Jalan Pucangsewu ini sedang mencari sepatu brand ternama namun bekas. "Mending aku, masiyo bekas tapi ori. Lho, iki apik koyo anyar tapi wis payu," Robi menyodorkan layar ponselnya. Terlihat sepatu sporty warna merah dengan motof tiga strip hitam. Robi terus mentelengi layar ponselnya. Kakinya selonjor di bawah meja. Tampak ia mengenakan sepatu mirip yang tadi ia lihat di instagram, hanya saja warnya biru. Sepatu itu tampak sudah agak kusam. Tidak terlihat kerusakan di sol maupun kainnya. Kopi yang dipesan tadi sudah ada di meja tapi masih tak dihiraukan. BACA JUGA: Ketika Bintang-bintang Menghilang di Langit Jakarta Seorang lelaki masuk ke kafe. Robi hanya melirik sebentar. Lelaki itu mengenakan kemeja flanel, kotak-kotak warna biru dengan motif garis hitam. "Kalau itu tadi, flanel luar negeri," lagi-lagi Robi mengomentari penampilan pengunjung kafe. Robi mengaku memang sudah lama memakai produk-produk luar negeri. Tapi ia tidak mengelak, produk yang dipakainya adalah bekas. Ia tidak merasa malu karena baginya lebih baik membeli yang bekas dari pada baru tapi imitasi. Kata dia, sebenarnya menjadi pemakai produk luar negeri semenjak pasar barang bekas di internet semakin marak. Dengan berbelanja lewat online, banyak ketidaknyamanan yang bisa dihindari. Diantaranya tidak perlu repot-repot masuk pusat perbelanjaan. Ini masih ditambah lagi, harganya jauh lebih murah, karena memang barang bekas. "Makanya saya mending lihat-lihat instagram semecam ini saja. Kalau belum ada yang cocok tidak ada masalah. Besok-besok dicek lagi, siapa tahu ada yang cocok," katanya sambil menyeruput kopi yang sudah agak hangat lantaran tersapu angin malam. Ia tidak menampik, kegemarannya itu memang didorong hasrat tampil keren. Pertimbangan lain, dengan harga yang sama memang bisa mendapat produk lokal berkualitas bagus. Tapi standar keren di kalangan masyarakat masih dipatok merk. "Saya akui produk lokal itu ada yang bagus, tapi yaopo maneh rasanya kurang keren hahaha....," ia terbahak sampai menarik perhatian pengunjung lain. Orang semacam Robi ini banyak. Sebab itu pula, pedagang-pedagang barang bekas masih menjadikannya pasar yang menjanjikan. "Sudah empat tahun saya jualan jaket impor bekas," ucap Amin, salah satu pedagang barang bekas yang tinggal di kawasan Kedinding Lor. Lelaki 44 tahun bahkan sangat menikmati pekerjaannya. Ia bisa melayani calon-calon pembelinya melalui ponsel. Waktu untuk keluarga menjadi lebih banyak. Dalam seminggu, ia biasa mengulak barang dua hingga tiga kali. Itu pun tidak setiap waktu mendapat barang yang bagus. "Awalnya dulu asal barang bagus saya ambil. Tapi lama kelamaan jadi tahu, ternyata yang dicari konsumen adalah yang brand ternama. Bahkan beberapa brand itu ada penggemar fanatiknya," kata bapak dua orang putri ini. Dari pengalaman bergumul dengan merk-merk luar negeri, Amin berani memastikan tidak semua kualitasnya bagus. Bahkan ada yang kualitasnya di bawah produk dalam negeri. Tapi anehnya, konsumen tetap memburu hanya lantaran fanatik terhadp satu merk tersebut. "Kalau sudah fanatik merk Dickies misalnya, ya sudah merk itu yang dicari. Walau pun ada merk lain yang juga bagus, misalnya Uniqlo, mereka tetap tidak mau," tegasnya sambil tersenyum. Ia pernah juga merasa konyol ketika mendapat kemeja batik produksi lokal yang di pasarkan di luar negeri. Produk itu jadi cepat laku hanya karena diberi label salah satu merk di Prancis. "Saya itu pernah jual batik produk lokal. Lakunya sangat susah. Lha ini, begitu saya posting langsung laku," jelas Amin sambil terkekeh. Stigma keren yang menempel produk luar negeri memang sulit dihilangkan. Itu lantaran, mereka yang sudah kaya atau pejabat lebih suka memakai produk-produk tersebut. Ini akan berbeda, jika misalnya para pemilik duit berlimpah atau pejabat memberi contoh menggunakan produk dalam negeri. BACA JUGA: The Power of Recehan Pengusaha kulit asal Tanggulangin Sidoarjo Zainul Lutfi memang mengamati masih sedikit pejabat yang memakai produk lokal. "Seharusnya para pejabat memberi contoh pada masyarakat untuk bangga dan mencinta produk sendiri. Caranya, ya harus memakai produk itu. Pejabat jangan hanya memberi omongan tapi tidak melakukannya," kata Lutfi yang juga mantan anggota DPRD Jatim. Ia menilai, jika ada gerakan pejabat memakai produk dalam negeri dampaknya akan sangat baik bagi perkembangan UMKM. Meski demikian, ia menilai tidak perlu aturan khusus untuk "memaksa" pejabat memakai produk lokal. "Harusnya kita, punya kesadaran akan hal itu. Jika pejabat membeli produk lokal, itu luar biasa dampaknya bagi UMKM. Pedagang lokal ini akan bangga, dan bersemangat dalam berusaha. Banyak produk kita yang lebih bagus dari pada produk dalam negeri," papar Lutfi. (zaki zubaidi)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.