Portaltiga.com - Di sebuah bangsal bersalin Rumah Sakit Umum Daerah di ujung selatan Jawa Timur, bayi laki-laki baru saja lahir. Tangisnya pecah, menggema, membelah sunyi pagi. Tapi tak lama, ketenangan kembali. Bayi itu digendong perawat, dibersihkan, dibungkus, lalu diberikan ke ibunya yang masih lemas setengah sadar.
Satu jam. Dua jam. Tiga hari berlalu. Tapi nama bayi itu belum tercatat. Ia telah hadir ke dunia, tapi secara hukum ia belum diakui. Belum ada NIK, belum ada akta kelahiran, bahkan belum ada surat lahir dari rumah sakit.
Begitu pula jika bayi itu meninggal dunia. Tak ada dokumen, tak ada statistik resmi, tak ada jejak. Inilah kenyataan yang coba diubah lewat program Kolak Pisang. Tak hanya soal kekerasan atau KDRT, Kolak Pisang diam-diam sedang berperang melawan tak terlihatnya manusia dalam sistem. Karena bagaimana negara bisa melindungi anak kalau sejak lahir saja, ia tidak dikenali?
Di ruang administrasi rumah sakit, seorang petugas bernama Leni membuka map-map dokumen dengan sedikit gugup. “Kadang keluarga buru-buru pulang. Kadang ibu melahirkan sendirian, tak ada keluarga. Kadang kami sendiri kewalahan,” katanya.
“Kalau tidak ada akta, anak itu tidak bisa daftar sekolah, tidak bisa ikut BPJS, tidak bisa punya KIA (Kartu Identitas Anak). Ia menjadi warga yang tidak diakui negara,” kata Tri Wahyu Liswati, Kepala DP3AK Jatim, saat ditemui di Surabaya, Rabu (5/6/2024).
Karena itu, dalam program Kolak Pisang (Kolaborasi Dukcapil Dengan Rumah Sakit No Gratifikasi), rumah sakit menjadi salah satu titik strategis intervensi. Bukan hanya sebagai tempat pelayanan medis, tapi sebagai titik awal pengakuan identitas manusia.
Dalam skema Program Kolak Pisang, rumah sakit kini didorong untuk langsung mengintegrasikan pelayanan pencatatan sipil. Melalui kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil), proses pembuatan surat lahir kini dilakukan sejak hari pertama kelahiran — cukup dengan NIK ibu, nama bayi, dan dokumen kelahiran.
Tak hanya itu. Dalam kasus kematian, terutama bayi dan balita, pencatatan pun ditekankan. Karena selama ini, banyak kematian tidak tercatat. Terutama jika terjadi dalam beberapa jam setelah lahir.
“Kalau kematian tidak tercatat, kita kehilangan data penting. Kita tidak tahu di mana intervensi harus dilakukan. Bisa jadi karena infeksi, stunting, atau layanan terlambat. Tapi bagaimana bisa menyusun kebijakan kalau datanya tidak ada?” tambahnya.
Pada satu kasus di Madura, seorang ibu muda melahirkan di rumah sakit, namun bayinya meninggal sebelum diberi nama. Karena tak ada dokumen, kematian bayi itu tidak tercatat di sistem. Tidak masuk laporan Dispendukcapil. Tidak ada pemakaman resmi. Tidak ada statistik.
Bayi itu telah hidup. Ia menangis. Tapi ia tidak pernah benar-benar ada, menurut negara. Dan inilah yang sedang dilawan oleh Program Kolak Pisang, peradaban yang terlalu sering abai pada tahap paling awal kehidupan.
Seorang ayah di Lamongan yang semula hanya pasrah melihat bayinya meninggal, kini mendapat surat kematian resmi. “Setidaknya saya bisa mendoakan anak saya dengan nama,” kata Suharno, salah satu warga.
Di ruang bersalin lain, seorang ibu muda tersenyum saat diberi akta lahir atas nama bayinya. Ia mengecup dahi anaknya, lalu berbisik: “Selamat datang di dunia, Le. Sekarang kamu sudah punya nama. Sudah punya hak,” ucapnya.
Kolak Pisang bukan hanya program. Ia adalah upaya merawat manusia sejak tarikan napas pertama, dan menghormati mereka bahkan ketika napas itu terakhir. Ia percaya bahwa negara tidak hanya hadir dalam gedung tinggi dan perda, tapi juga dalam secarik akta kelahiran, dalam nama yang tercatat, dalam kematian yang diakui.
Baca Juga : DPRD Surabaya Minta Pemkot Tak Paksakan Pembangunan Rumah Sakit Surabaya Selatan
Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.