Intermezzo

Peringati 27 Tahun Reformasi, Seniman Teater Sajikan Njlungup di Balai Pemuda Surabaya

Portaltiga.comMemperingati 27 tahun Reformasi di Indonesia, sejumlah seniman turut menyampaikan kegelisahan dan keprihatinan melalui karya. Di antaranya, Slamet Gaprak, bersama Yati yang menampilkan karya berjudul Njlungup.

"Njlungup itu berasal dari Bahasa Jawa. Misal orang yang sedang berjalan, lalu ada rintangan, sehingga orang itu jatuh. Nah, itu namanya njlungup," ucap personel Teater Api Indonesia ini, Sabtu (31/5/2025) malam. 

Di bagian awal, Gaprak memainkan sepasang sepatu lars yang seolah menendangnya, menginjaknya bahkan juga dijejalkan ke mulutnya. Selanjutnya, sepatu itu dilemparkan dengan keras menghantam lembaran seng yang mengepungnya, bahkan menguburnya. 

Di akhir adegan, seorang perempuan, yang diperankan oleh Yati, simbol duka seorang ibu atas hilangnya sang putra, ditampilkan melalui kibasan kain jarit. 

Judul ini, menurut Gaprak, adalah benang merah dari gagasan Peringatan 27 Tahun Reformasi yang digelar di Balai Pemuda, Kamis hingga Sabtu (29-31/5/2025).

"Mengenang Reformasi artinya juga mengenang para korban penculikan aktivis tahun 1998. Kasus penculikan ini hingga kini, bisa dikatakan tidak selesai. Para korban hingga kini belum ditemukan. Namun saya melihat bahwa perjuangan kita ini belum klimaks. Sehingga yang terjadi pada perjuangan reformasi ini justru njlungup," tegas Gaprak.

Gaprak berharap perjuangan reformasi ini tidak berhenti pada gagasan, seremonial, serta aksi-aksi lain yang belum benar-benar mengubah sistem.

"Kita ini hanya wayang di bawah para pemegang sistem, birokrat, atau penguasa. Mana saat tidur, ya kita harus tidur. Mana saat PHK, ya kita kena PHK, sementara mereka membeli mobil, kemudian membeli pesawat dengan mudahnya, sedangkan masyarakat kecil hidup sehari-hari hanya bisa berharap bisa bayar cicilan. Kita masih dipermainkan oleh para operator sistem," paparnya.

Parahnya, disebutkan Gaprak, represi pembuat sistem masih terus terjadi hingga hari ini.
Namun Gaprak juga menyesalkan sejumlah mantan aktivis yang kini menikmati jabatan dan menjadi bagian dari sistem para penguasa.

"Nantinya bisa lebih ngeri lagi dari hari kemarin. Dan perjuangan kita harus terjatuh njlungup lagi dan lagi, karena selain tidak ada pemicu gagasan yang sampai pada klimaks pertarungan yang mungkin harus berdarah-darah, juga adanya mantan aktivis di dalam sistem penguasa," ujarnya.

Gaprak juga menekankan bahwa perform teater yang ditampilkan didedikasikan untuk salah satu aktivis Surabaya, Alm. Mas Brewok,  yang membesarkan dan membuatnya melihat sendiri bagaimana militerisme dan represi penguasa hadir dalam kehidupan masyarakat sipil.

Baca Juga : POSS - Bavisch Hadirkan Aneka Genre Musik dalam Irama Orkestra lewat Gado Gado Suroboyo

Kekecewaan yang sama disampaikan aktivis Dandik Katjasungkana, yang menggagas event peringatan ini.

"Tidak sedikit memang, yang dulu aktivis menyeberang ke kekuasaan, dan kini menikmati jabatan baru. Ada yang jadi anggota dewan, komisaris, ada pula yang jadi wamen, itu pilihan politik mereka," ucap Dandik.

Namun, menurutnya, ini menjadi pelajaran berharga bagi aktivis masa sekarang, bagaimana pengkhianatan gerakan aktivisme ini terulang.

Tahun 1966, papar Dandik, Soe Hok Gie juga sangat kecewa dengan teman-temannya yang duduk di parlemen dan tidak menyuarakan kepentingan rakyat lagi. Bahkan juga melakukan korupsi.

Baca Juga : POSS Hadirkan Ruang Bermusik bagi Anak-anak Surabaya

Hal ini terjadi lagi di tahun 1998.  Mereka yang dulu berada di garis depan melawan pemerintah militerisme, kini mendukung pemerintah baru yang menerapkan militerisme.

"Politik itu sendiri memang sebuah kontestasi, orang secara sosial bisa berubah. Namun saya dan teman teman yang masih memegang komitmen akan terus mengabarkan amanat reformasi. Ini penting karena politiik otoritarianisme dan militerisme pada pemerintah Orde Baru yang juga menimbulkan ketimpangan ekonomi yang kemudian ditumbangkan oleh reformasi, kini kembali diterapkan oleh pemerintah baru, dengan cara memberi ruang pada militer aktif untuk menduduki posisi strategis di birokrasi sipil," terang alumni Unair ini.

Sementara pada event peringatan ini, pihaknya mengajak kolaborasi dengan para seniman, karena dirinya menilai para seniman yang kerap memotret kejadian sosial di masyarakat sekitarnya memiliki kepekaan sosial yang cukup kuat.

"Karya kebudayaan dan seni ini menjadi penting untuk memperluas edukasi tentang sejarah masa lalu bangsa ini dan sejarah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia," tutur Dandik.

Selain itu, Dandik juga menyebutkan bahwa momen peringatan ini juga untuk mengenang Herman Hendrawan, salah satu aktivis yang hilang pada 1998, yang berulang tahun pada 29 Mei.

"Andai ia masih hidup, ia sudah berusia 55 tahun saat ini," ucap Dandik mengenang salah satu sahabat karibnya.

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait