Baca Juga : BPBD Jatim Salurkan Air Bersih ke Ngawi
Portaltiga.com - Indah kabar dari pada rupa. Ungkapan itu tidak hanya tepat untuk menggambarkan sosok seorang kupu-kupu malam, yang konon bertubuh seksi dan menggoda, yang ternyata tubuhnya cuma berisi sumpalan implan yang benjol-benjol karena operasi plastik yang gatot, alias gagal total. Ungkapan tersebut juga sangat tepat untuk menggambarkan keberadaan benda purbakala di beberapa lokasi di Kabupaten Ngawi, wabilkhusus di Kecamatan Ngrambe. Pasalnya, warta yang sampai ke telinga seperti alunan musik yang mempesona. Namun, sesampainya di lokasi, tinggalan purbakala yang diduga berasal dari kerajaan Majapahit masa akhir itu wus! Raib ditelan bumi! Lha, kenapa membandingkan benda purbakala dari batu dengan kupu-kupu malam? Seperti orang yang tak punya kerjaan saja! Nanti dulu, Saudara. Biasanya kalau kita diminta membahas hal ihwal batu, apalagi reco atawa arca, bawaannya ngantuk melulu. Lha kalau diminta membahas hal ihwal yang satu itu, yang berhubungan dengan tubuh aduhai dan semlohai, bawaannya langsung jenggirat tangi. Embuh, sing tangi apane Kabar pertama adalah keberadaan arca Ganesa, dewa berkepala gajah putra Siwa, yang melambangkan ilmu pengetahuan dan penolak balak dan malapetaka. Sahdan, arca ini tersemen di Jembatan Magelang, berada di Dusun Pendem, Desa Pucangan. Konon, asalnya arca tersebut ada dua, tetapi tinggal satu. Kondisinya pun sudah tidak utuh karena pada beberapa bagiannya sudah gumpil dimakan usia dan karena ditangani oleh jari-jari yang jahil. Begitu sampai di lokasi, akhir September 2017 lLU, tidak ada batang hidung Ganesa di sana. Batang hidungnya saja tidak ada, apalagi yang lainnya. Begitu bertanya pada beberapa pihak, ternyata informasi yang saya terima itu berasal dari peristiwa lebih dari 17 tahun yang lalu. Wow! Sebuah waktu yang menunjukkan usia remaja, lalu pergi meninggalkan rumah untuk mencari cinta pertama. Saya maklum saja, memang demikianlah kondisinya. Untunglah saya mendapatkan fotonya dari Humas Setda Ngawi, sehingga saya tahu bentuk arcanya meski kini ia sudah menuju takdirnya untuk tiada. Wuih, filosofise, rek! Kabar kedua adalah koleksi arca di halaman kantor Kecamatan Ngrambe, yang terdiri atas empat arca yaitu Siwa Guru, Nandiswara, Naga, dan Ganesa. Arca-arca ini berasal dari reruntuhan candi di Dusun Pendem, Desa Pucangan. Konon, arca-arca itu beberapa bagiannya sudah tidak utuh. Arca Siwa (Batara Guru) tak berkepala, begitu pula dengan lainnya, terdapat ketidakutuhan di sana-sini. Sebuah koleksi yang menunjukkan bahwa tempat di mana ditemukannya artefak kuno tersebut adalah tempat persembayangan bagi pemuja Siwa. Sebuah candi pernah berdiri di sana pada masa Majapahit, karena kerajaan ini memang dikenal dengan keyakinan Hindu Siwa, mengarah ke-Tantra Buda juga sisa dari keyakinan zaman Singasari. Begitu di lokasi, arca-arca itu sudah tidak dapat ditemui. Kantor kecamatan Ngrambe sudah pindah ke lokasi baru sejak 2007 lalu. Menurut kesaksian dua pegawai kecamatan setempat, mereka pernah melihat keberadaan arca di kantor kecamatan lama. Namun, begitu kantor pindah dan kantor lama beralih fungsi menjadi terminal Ngrambe, tidak diketahui keberadaan arca-arca itu lagi. Namun beberapa sumber lain memberikan keterangan yang berbeda. Seingat saya arca-arca itu dibawa oleh petugas dinas, terang petugas kecamatan, yang namanya saya umpetin, juga dinasnya. Hal itu berbeda dengan apa yang pernah didengar seorang guru SMP Negeri di Ngrambe. Saya pernah mendengar, arca-arca itu dibawa ke Trowulan, tegas warga asli Ngrambe ini. Kesaksian berbeda diungkap oleh Widayunarko, juru pelihara situs Recobanteng, Kedunggalar. Arca-arca di halaman kecamatan itu tidak dibawa ke Trowulan. Pada saat itu, diadakan acara pasar malam di halaman tersebut. Saya mendengar bahwa arca-arca itu dibawa orang pasar malam, tandasnya. Saya tidak mau berpanjang lebar soal itu. Toh, saya tidak tahu mana yang benar sungguh. Toh tugas saya hanya melacak dan berkabar tentang masa lalu Ngawi, meskipun berkali-kali saya dicurigai sebagai intel dan polisi. Yang pasti, di kawasan tersebut memang pernah menjadi sebuah titik penting dari peradaban Majapahit yang sempat menusantara itu, meskipun sekarang benda-benda peninggalannya sudah raib entah ke mana. Kabar ketiga adalah keberadaan arca Nandi di tengah-tengah halaman SMP Ngrambe yang menjurus ke pintu masuk gedung sekolah. Nandi atau Nandiswara adalah lembu tunggangan Siwa. Saya ke SMPN 2, yang lokasinya lebih dekat ke kota Ngrambe, ternyata tidak ada yang tahu menahu. Selanjutnya saya ke SMPN 1, yang berdiri lebih tua dari SMPN 2, ternyata juga tak banyak yang tahu. Untunglah saya bersua dengan seorang guru perempuan di SMP tersebut. Kebetulan, ia alumnus SMP tersebut dan asli Ngrambe. Kabar tidak enaknya, dia menyangkal keberadaan arca Nandi di SMP 1. Modar! Begitu batin saya. [caption id="attachment_12146" align="aligncenter" width="300"] Foto: Arca Nandi (ngawikabmuseumjatim.wordpress.com)[/caption] Saya tidak pernah melihat arca itu di sini, terangnya. Tapi saya pernah melihatnya di tempat lain, ujarnya, begitu saya menunjukkan foto arca Nandi dari sebuah majalah. Pernyataannya membuat harapan saya melambung lagi. Saya pernah melihatnya ada di halaman ST (sekolah teknik, red.), cikal bakal SMP Negeri di Ngrambe. Posisinya persis di bawah tiang bendera. Saya tahu persis karena rumah saya di depan ST tersebut. Tetapi setelah SMPN ini berdiri, sekolah itu ditutup. Pada saat itu saya masih sangat kecil. Selanjutnya, bangunan ST dirobohkan dan dibangun perumahan rakyat. Saya tidak tahu nasib arca itu lagi. Sekarang lokasinya sudah menjadi perumahan , terang Ibu Agnes. Kabar keempat adalah keberadaan dua buah yoni dan sebuah watu gilang di halaman SD Anggaya, Ngrambe. Saya sengaja tidak mendatangi lokasi ini. Hal itu karena sepanjang jalan banyak orang yang tidak tahu desa Anggaya. Ketidaksampaian saya di lokasi, patut saya syukuri karena saya tidak mau keindahan kabar yang sampai kepada saya berubah menjadi rupa yang tidak mengenakan hati. Dari keberadaan benda purbakala jenis yoni dan batu gilang menunjukkan bahwa tempat tersebut memang menjadi titik dari tempat suci Majapahit pada masanya yang memuja Siwa dan hal ihwal terkait dengan kesuburan. Selanjutnya, saya pun menuju Dusun Pendem, Desa Pucangan, karena begitu banyak orang menyarankan saya ke sana. Apalagi sejarah arca-arca yang berada di halaman kecamatan Ngrambe (lama) berasal dari kampung ini. Siapa tahu saya mendapatkan tinggalan masa lalu Ngawi yang gemilang dan masih bisa dirunut sejarah kejayaannya di masa lalu. Ternyata sampai di Candi Pendem, indah kabar daripada rupa berlaku kembali. Fuihh. Ini masuk kabar kelima dan kemarin sudah saya tulis. [caption id="attachment_12147" align="aligncenter" width="300"] Foto: Candi Pendem (ngawikabmuseumjatim.wordpress.com)[/caption] Kabar terakhir: ternyata fenomena likuidasi benda kuno itu tidak terjadi di Ngerambe saja. Saya menemukannya di Jogorogo, Sine, dan..... Ah, sudahlah. Kata orang kini: Move on! Lupakan masa lalu! Jawab saya: Gundulmu! Terus terang, saya berharap arca-arca yang pindah tempat itu kini berada di tempat seharusnya, semisal di kepurbakalaan Trowulan atau di museum, meskipun saya sendiri pesimis terhadap harapan saya sendiri. Hal itu karena peristiwa rainya arca itu sudah berlangsung dalam kurun 15--20 tahun lalu. Bukan berarti saya pemuja arca, ini hanyalah langkah kecil menyelamatkan aset bangsa dan sejarahnya. Cik melipe, rek! Embuh, cak! (mashuri sukodadi/abi)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.