Portaltiga.com - Sengkarut penyelesaian konflik Pasar Turi Baru Surabaya menyisakan cerita pilu para pedagang. Banyak yang bangkrut, meninggalkan stan, hingga banting setir mencari usaha atau pekerjaan lain. Ada pula yang terpaksa menganggur.
Perawakannya kurus. Kulitnya kian legam semenjak menjadi sopir. Ya, dia adalah Akbar Maghrobi. Salah satu pedagang Pasar Turi bidang konveksi. "Biasanya saya dan ibu yang menjaga stan. Tapi karena semakin sepi, saya jadi sopir dan ibu yang jaga sendiri," tutur pria yang biasa dipanggil Robi, Rabu (5/9/2018).
Robi menuturkan, memiliki stan di dalam gedung Pasar Turi Baru. Namun, terpaksa ia tinggalkan stan yang telah dibeli itu karena pengunjung begitu sepi. Ia lebih memilih berjualan di tempat penampungan sementara (TPS) dengan harapan dagangannya tetap laris.
"Ternyata sama saja. Di TPS pun juga sepi. Hampir tiap hari itu tidak ada pembeli baru. Yang beli itu tinggal pelanggan lama saja," ungkap warga Pucang Sewu ini.
Pria 28 tahun ini akhirnya memutuskan mencari pekerjaan lain. Ia sempat bekerja di distributor air mineral kemasan demi menutupi kebutuhan keluarganya. Namun itu tidak berlangsung lama. Robi kemudian memilih menjadi sopir di salah satu perusahaan di Pasuruan.
"Berat memang (jadi sopir). Harus kuat melek. Saya juga harus pergi-pulang Surabaya-Pasuruan tiap hari. Tapi ya bagaimana lagi, hidup harus tetap berlanjut," tutur pria yang sedang menabung untuk biaya menikah ini.
Robi mengaku banyak pedagang lain yang juga mengalami nasib serupa. Meski memiliki stan di dalam gedung, tapi di antara mereka tetap berjualan di tempat penampungan sementara (TPS) karena pengunjung lebih ramai.
Oleh karena itu, lanjut Robi, dirinya berharap ke depan bisa kembali jualan di Pasar Turi. Ia tak mau tahu soal kisruh pasar yang sudah bertahun-tahun.
Yang penting (pengunjung) ramai lagi, tegasnya.
Beda dengan Robi, Yudia kini hanya bisa menjalani nasibnya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak bisa lagi berharap pada penghasilannya berdagang di stan Pasar Turi. Sementara, membuka usaha di tempat lain dirasa sulit lantaran tak punya cukup modal.
Mau lamar kerjaan juga bingung kerja apa. Akhirnya ya begini nganggur, paling ngurus rumah, tuturnya.
Yudia yang selama ini jadi tumpuan ekonomi keluarga itu tak menyangka, Pasar Turi yang dulu sangat ramai dan menjadi pusat grosir terbesar di kawasan Indonesia Timur ternyata berubah drastis. Megahnya gedung baru yang dibangun pasca kebakaran tahun 2007 tak cukup memulihkan gairah jual-beli antara pedagang dan pengunjung.
Sehari laku satu sudah syukur. Saya gak bisa ngarep dari situ lagi, terang perempuan 47 tahun ini.
Yudia adalah salah satu pedagang grosir dan eceran yang awalnya punya harapan besar terhadap Pasar Turi Baru. Tak pernah sedikit pun terbayang olehnya Pasar Turi bakal kelam dan mati suri seperti sekarang. Sebab di benaknya kala itu, pemerintah kota dan semua pihak benar-benar ingin menghidupkan kembali Pasar Turi, sehingga tak ada alasan untuk pesimis.
Namun, apalah arti jadi wong cilik, nasibnya banyak bergantung pada perhatian penguasa. Begitu hilang perhatian itu, maka pupuslah pula harapan mereka akan hidup yang lebih berdaya.
Kepada siapa lagi saya mengeluh Mas. Sekarang gak ada yang perhatikan nasib kami, tandas ibu dua anak ini.
Untuk diketahui, konflik seputar pengelolaan Pasar Turi hingga saat ini belum menemui titik terang. Konflik melibatkan sejumlah pihak terutama antara Pemkot Surabaya dengan pengembang yang membuat, antara lain, izin operasional Pasar Turi belum dikeluarkan dan revitalisasi pasar terhambat.
(doy/abi)
Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di
Google News.
URL : https://portaltiga.com/baca-6591-nasib-pedagang-pasar-turi-siapa-peduli