Baca Juga : AHY Raih Doktor Cumlaude, dr Agung: Ini jadi Motivasi Kader dan Generasi Muda
Portaltiga.com - Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Itu adalah potongan pidato perdana Presiden Jokowi di depan anggota MPR dan DPR pada Senin (20/10/2014), tepatnya seusai dilantik menjadi presiden. Sejak konsep kemaritiman tersebut didengungkan, pemerintah tampak memberikan porsi perhatian yang lebih pada sektor kemaritiman. Kini seiring berjalannya empat tahun pemerintahan, berbagai kebijakan kelautan tersebut tampak membuahkan hasil. Misalnya, kebijakan penenggelaman kapal asing yang terbukti melakukan pencurian di kawasan perairan Indonesia. Efeknya, produksi perikanan Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Meski demikian, kebijakan dan konsep kemaritiman tersebut bukan tanpa ada tantangan. Di satu sisi memperlihatkan hasil yang positif. Di sisi lain, tampak diperlukan adanya pembenahan dan perbaikan di beberapa sektor. Lantas, bagaimana dengan sektor potensial kemaritiman yang lain? Bagaimana tantangan ke depan? Khsusunya bagaimana dampak sesungguhnya dari konsep Indonesia sebagai poros maritim dunia? Mendiskusikan potensi kemaritiman tersebut, Universitas Airlangga (Unair) melalui Pusat Informasi dan Humas (PIH) menggelar diskusi bertajuk Gelar Inovasi Guru Besar di Ruang Kahuripan 300, Kantor Manajemen UNAIR, Kampus C. Tema Pemanfaatan Kekayaan Maritim dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia dipilih dalam diskusi pada Kamis (13/9/2018) tersebut. Ketua PIH UNAIR Dr. Suko Widodo menyampaikan bahwa konsep kelautan sebagai masa depan bangsa Indonesia memang muncul sejak dulu. Karena itu, lanjut dia, diperlukan diskusi terkait dengan hal tersebut sebagai upaya mewujudkannya secara bersama-sama. "Saya mengagumi salah satu sosok, yaitu Gus Dur yang juga pernah mengangkat konsep kebijakan kemaritiman ini. Diskusi terkait dengan ini sangat penting dilakukan. Sebab Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Itulah potensinya," ujarnya. Suko menambahkan, dalam Gelar Inovasi Guru Besar kali ini, dihadirkan tiga pakar dari tiga bidang keilmuan yang berbeda. Yakni, Prof. Ir. Moch. Amin Alamsjah, M.Si., Ph.D., guru besar Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK); Prof. Dr. Dian Agustia, Dra., Ak., M.Si., CMA., CA., guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB); dan Prof. Dr. Musta'in Mashud, Drs., M.Si., guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Ketiga paparan guru besar dimoderatori Ainur Ahadi Abdillah, S.Pi., M.Si. Gelar Inovasi Guru Besar tersebut dihadiri peserta dari berbagai elemen. Di antaranya, berasal dari unsur TNI Angkatan Laut (AL), institusi pemerintahan, akademisi, dan masyarakat umum. Ini Kata Tiga Guru Besar Prof. Dian dalam paparan pertamanya menjelaskan pentingnya konsep Sustainable Development Goals (SDGs) dalam melakukan pemanfaatan sumber daya dalam praktik ekonomi, khususnya dalam bidang kemaritiman. Sebab, sering hal tersebut menimbulkan masalah, terutama yang berkaitan dengan ekosistem. Terlebih saat ini dengan perkembangan teknologi yang pesat dalam revolusi industri 4.0. Misalnya, dalam kasus perkiraan punahnya tuna sirip kuning di laut pada rentang lima sampai sepuluh tahun ke depan. Perkiraan tersebut muncul setelah terjadi praktik eksplotasi tuna sirip kuning karena benilai ekonomi yang tinggi. Karena itu, menurut Prof . Dian, diperlukan konsep tiga P dalam kegiatan ekonomi. Yakni, public, place, dan planet. Artinya, kegiatan ekonomi juga mesti memperhatikan nilai-nilai sosial kemasyarakatn (public), perusahaan (place), dan ekosistem atau lingkungan (planet). "Itulah kenapa diperlukan akuntabilitas dan transparansi aktivitas ekonomi dalam laporan keuangan dari sebuah perusahaan," ujarnya. Menambahkan pernyataan Prof. Dian, pakar sosiologi Prof. Mustain menyoroti bidang sosiologi nelayan. Dalam sepuluh tahun terakhir, rumah tangga nelayan di Indonesia terus menurun. Dari 1,6 juta kepala keluarag (KK) menjadi tinggal 800 ribu KK. Hal itu disebabkan beberapa faktor. Beberapa di antaranya adalah pengambilan sumber daya alam oleh negara lain, baik secara resmi maupun illegal. Karena itu, lapak tangkapan nelayan diserobot. Selanjutnya adalah semakin minimnya penghasilan nelayan dan besarnya risiko di laut. Lalu, maraknya illegal fishing dengan menggunakan kapal ukuran lebih besar. Dan terakhir adalah teknologi yang lebih canggih juga membuat para nelayan kecil makin sulit mendapatkan ikan di laut. Sementara itu, dari sisi kemaritiman, Prof. Amin Alamsjah menyatakan bahwa ada tiga potensi besar kelautan yang dimiliki Indonesia. Ketiganya potensi itu adalah produksi ikan tuna, udang, dan rumput laut. Untuk produksi tuna dan udang, ada penurunan sejak tiga tahun terakhir. Dari ketiga produksi tesrebut, Indonesia adalah negara yang memproduksi rumput laut terbesar di dunia. Namun, 80 persen produksi masih dalam bentuk mentah. Diperlukan adanya inovasi agar produk ekspor Indonesia tersebut diubah dalam bentuk yang lebih bermanfaat. Ada enam usulan strategis yang disarankan Prof. Amin. Salah satunya adalah transfer teknologi yang dilakukan untuk semua sisi. Baik level sederhana atau basic science, middle science, maupun technologi science. "Semua harus bergerak bersama. Industri dan pihak obat-obatan juga harus bergerak dalam bidang teknologi. Pemerintahan dalam hal ini harus bisa mengomando. Kerja sama dengan universitas, balai riset, juga industri," tutur Prof. Amin. (doy/abi)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.