Baca Juga : Risma Pantau Pendangkalan Sungai di Kota Madiun, Punya Solusi Begini
Portaltiga.com - Langkah Khofifah Indar Parawansa akan semakin berat bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur (Jatim) 2018, jika mengundurkan diri dari jabatan Menteri Sosial dan tidak mendapat restu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Secara kalkulasi politik langkah Khofifah akan semakin berat. Cukup banyak implikasi dan konsekuensi negatif yang harus ditanggung Khofifah, khususnya terkait elektabilitasnya dalam Pilkada Jatim 2018," kata Dosen Komunikasi Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam di Surabaya, Kamis (24/8/2017). Saat ini, menurutnya, pengaruh dan citra Jokowi sedang bagus-bagusnya dimata masyarakat. Jika Khofifah nekat maju tanpa restu presiden, maka akan merugikan dan memberi dampak pengaruh cukup besar bagi elektabilitas Khofifah. Apalagi, Jokowi juga menjadi salah satu patron kaum nasionalis yg juga besar jumlahnya di Jatim. "Jelas situasi ini sulit bagi Khofifah," tegas peneliti media Surabaya Survei Center (SSC) ini. Dijelaskan, faktor restu Jokowi tidak bisa dianggap remeh karena untuk pilkada Jatim, PDIP akan berjuang mati-matian meraih kemenangan di Jatim demi mengembalikan kehormatan partai. Bagi PDIP, Jatim kini menjadi salah satu benteng pertahanan marwah partai. "Khofifah berada dalam posisi sulit sekarang. Rasanya sulit untuk membuat Jokowi berbeda haluan dengan DPP PDIP dan sinyal itu sudah jelas ditunjukkan presiden bahwa Khofifah masih dibutuhkan dalam kabinet," ujarnya. Kondisi ini, lanjutnya harus dibaca cermat oleh Khofifah. Apalagi kontes pilkada Jatim ini tidak sekadar soal menang jabatan gubernur, tetapi juga menyangkut kehormatan PDIP. "Itu yang paling berat pengaruhnya jika tidak direstui presiden," tandasnya. Dalam perspektif politik jawa, tambahnya, Khofifah juga akan terlihat melawan presiden dan akan menyolidkan dukungan kaum nasionalis dan PDIP. Belum lagi jika isu pembangkangan itu dimainkan terkait dengan apa yang baru saja terjadi di NU. "Posisi itu bisa dimainkan para haters bahwa Khofifah melawan presiden dan juga titah kiai. Rasanya Khofifah benar-benar berada dalam situasi sulit dan butuh bermain lebih cantik," katanya. Jika restu presiden sulit didapat, menurut dia, pilihannya bisa berhitung ulang dengan hati dingin atau memainkan komunikasi politik cerdas bahwa Khofiah tidak mengundurkan diri (colong playu). Apalagi, jika izin dan restu ini didelay presiden, dalam arti tidak segera dikabulkan maka Khofifah juga akan memiliki waktu yang mepet. "Sekarang sudah akan memasuki bulan ke sembilan. Kalau delay nya lama, tentu berbahaya bagi Khofifah sendiri. Situasi ini jelas menjadi batu ujian bagaimana kemampuan komunikasi politik Khofifah dan tim. Ini benar benar situasi kritis," ungkap alumni Unair ini. (bmw/abi)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.