70 Ha Sawah di Malang Ini Mangkrak Sejak Kelud Meletus, Butuh Normalisasi Sungai

Aufa Zhafiri saat serap aspirasi masyarakat. (Foto: ist)

Portaltiga.com - 70 hektare lahan pertanian di wilayah Desa Sukosari, Kabupaten Malang mangkrak. Areal ini tidak lagi mendapat pengairan semenjak Gunung Kelud meletus akhir 2021 lalu.

"Ini sangat urgen. Aliran sungai berubah karena dampak letusan Kelud. Sehingga 70 hektare lahan itu kekeringan dan tidak bisa ditanami karena kekeringan," kata anggota DPRD Jatim Aufa Zhafiri, usai menggelar Reses III di Dusun Pondok Agung, Kesambon, Kabupaten Malang.

Untuk itu, lanjut Aufa, upaya normalisasi sungai harus secepatnya dilakukan agar para petani bisa bercocok tanam lagi.

'Kami segera lakukan koordinasi dengan Dinas PU Pengairan agar secepatnya dilakukan normalisasi agar sungai bisa teraliri air dan 70 hektare itu bisa ditanami lagi," tegas wakil rakyat dari Dapil Malang Raya ini.

Sedangkan dalam serap aspirasi masyarakat itu ada keluhan warga terkait jalan rusak, pupuk bersubsidi, hingga permintaan bantuan ternak.

Warga merasa kecewa, meski di wilayahnya terdapat 2 PLTA namun dampaknya sama sekali tidak dirasakan. Mereka berharap setidaknya ada bantuan untuk perbaikan jalan agar bisa mensupport warga yang kebanyakan adalah petani dan peternak.

Aufa menegaskan, terkait infrastruktur pihaknya akan melakukan pendataan terlebih dahulu. Pasalnya, kewenangan jalan ada di tangan pusat, provinsi atau kota/kabupaten.

"Kita akan cek dulu. Titiknya mana, wewenang siapa. Memang selama ini dana untuk perbaikan infrastruktur direfocussing akibat pandemi Covid-19. Bagi masyarakat urgen, tapi bagi pemerintah mungkin ada yang lebih urgen lagi," kata pria yang hobi basket dan bermusik ini.

Baca Juga : Warga Surabaya Sambat Zonasi, Anggota DPRD Jatim Cahyo Harjo Sampaikan Ini

Dalam kesempatan tersebut, politisi Partai Gerindra ini menawarkan solusi terkait kelangkaan pupuk bersubsidi. Yaitu dengan mengubah cara bertanam padi yang lebih baik menggunakan pupuk nonsubsidi.

"Dengan cara lama, pupuk bersubsidi dengan modal 1000 untungnya 2000. Sedangkan dengan teknik baru lebih modern menggunakan pupuk nonsubsidi, misalnya modal 4000 tapi hasilnya 10000. Piliha mana," terang alumnus Universitas Airlangga ini.

Diungkap, jika ada petani yang berminat Aufa siap menfasilitasinya. Sebab tak bisa dipungkiri banyak petani yang masih resisten terhadap teknik baru tersebut. Sementara pupuk bersubsidi memang kuotanya terbatas.

Baca Juga : KUA PPAS Beda dengan Nota Keuangan, Fraksi Gerindra: Kalau Dilanjutkan Gak Bahaya Ta?

"Solusinya, petani diedukasi bertanam modern. Beli pupuk nonsubsidi tapi teknik diubah, dengan hasil lebih maksimal dibanding pupuk subsidi. Ada program kerja sama dengan produden pupuk. Dibina sampai panen hasinya sudah ada yang beli. Tapi banyak yang resisten. Ijon juga masih banyak. Sistem harus diubah pelan-pelan," tegas Aufa.

Sementara itu, Kepala Dusun Pondok Agung Kukuh Heri Widarianto meminta agar Aufa memberi nomor yang bisa dihubungi agar sewaktu-waktu warganya bisa menyalurkan aspirasi. Permintaan itu pun dituruti oleh Aufa.

Sedangkan untuk permintaan bantuan alat pembuat pupuk organik dan mesin pencacah rumput, Aufa meminta agar warga membuat proposal pengajuan.

"Monggo mengajukan rinciannya di proposal. Jenis mesinnya seperti apa, harganya berapa," ujar anggota Komisi B DPRD Jatim ini. (zaq/abi)

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait
Berita Terpopuler
Berita Terbaru