Opini

Khofifah Harus Belajar Strategi Supit Urang

Baca Juga : PKS Jatim Wait and See Soal Paslon di Pilgub 2024

Esai : Mochtar W Oetomo Konon. Bagi Kerajaan Mataram, Kerajaan Surabaya adalah duri dalam daging. Penghalang utama bagi cita-cita Mataram mempersatukan tanah Jawa. Kompetitor utama penggerus kewibawaan dan ligitimasi Mataram sebagai Kesultanan terbesar di tanah Jawa. Maka sejak era Panembahan Senopati (1587-1601) Mataram telah mencanangkan ekspedisi penaklukkan terhadap Surabaya. Tahun 1596-1597 Panembahan Senopati mengirim puluhan ribu pasukan untuk menggempur Surabaya. Namun hingga meninggalnya Raja Pertama Mataram ini pada tahun 1601, Mataram tak pernah mampu menjebol benteng pertahanan Surabaya yang terkenal kuat dan kokoh. Pasukan Mataram pulang kembali ke barat dengan menyanyikan tembang kekalahan. Ekspedisi penaklukkan Surabaya diteruskan oleh putra Senopati, yakni Panembahan Hanyakrawati atau Panembahan Seda Ing Krapyak yang menjadi raja kedua Mataram (1601-1613). Pada tahun 1610 sampai 1613, raja kedua Mataram ini menyerang Surabaya. Penyerangan ini mengakibatkan melemahnya sektor perokonomian Surabaya karena dalam penyerangan ini menghancurkan hasil-hasil pertanian di daerah kekuasaan Surabaya. Namun, hal itu belum bisa membuat Surabaya takluk pada Mataram sehingga ketika Panembahan Seda Ing Krapyak ini meninggal dunia pada 1 Oktober 1613, Surabaya belum juga dapat ditaklukkan Mataram. Gagal untuk kedua kalinya, tidak membuat Mataram kapok. Raja ketiga Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) melanjutkan upaya kakek dan ayahnya. Belajar dari kegagalan para pendahulunya, Sultan Agung tidak serta merta menyerang Surabaya dengan pasukan besar. Sultan Agung sadar betul bahwa Surabaya mempunyai sekutu yang siap membantu dalam mempertahankan daerah kekuasaannya sekaligus memiliki pertahanan yang sangat kuat. Dengan strategi Sapit Urang, Sultan Agung terlebih dahulu menyerang daerah-daerah bawahan yang menjadi pemasok bahan makanan ke pusat kota Surabaya. Pada tahun 1615, Mataram menyerang dan menaklukkan Wirasaba. Penaklukkan ini menjadi penting karena Wirasaba merupkan daerah hinterland kota Surabaya yang menjadi pemasok air bersih melalui Sungai Brantas maupun salah satu pemasok bahan makanan. Pada tahun 1616 1617, Sultan Agung menyerang dan menguasai Pasuruan. Dan di tahun 1619, Mataram dapat menguasai Tuban yang menjadi penghasil kayu jati sebagai bahan untuk pembuatan kapal-kapal Surabaya. Dua tahun setelah penaklukan Tuban, yakni di tahun 1621, Sultan Agung mengirimkan pasukan lagi untuk menyerang Madura yang menjadi sekutu Surabaya. Penyerangan ini bertujuan untuk memutus salah satu suplai penting dan juga untuk mengepung Surabaya. Penyerangan ini dipimpin oleh Tumenggung Ketawangan dan Tumenggung Alap-Alap. Menurut Padmosusastro, peperangan ini merupakan peperangan terhebat dalam sejarah serangan Mataram. Hal ini dikarenakan kekuatan Madura dan Surabaya yang tangguh memaksa Mataram mengirimkan lagi bantuan 80.000 pasukan untuk mengalahkannya. Selain itu, peperangan yang melelahkan ini juga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kedua belah pihak. Namun, hal ini belum juga mengakibatkan Surabaya menyerah pada Mataram, meski Madura akhirnya harus jatuh ke tangan Mataram di tahun 1624. Setelah penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh Mataram, Kota Surabaya tidak mendapat suplai makanan dari daerah-daerah hinterland sehingga terjadi kelaparan, bahkan kematian yang diakibatkan dari kelaparan tersebut. Maka, inilah waktu yang tepat untuk menaklukan Surabaya.Tumenggung Mangun Oneng diberi mandat untuk memimpin penyerangan ke Surabaya. Ia menghindari kontak fisik dengan Surabaya yang akan merugikan pasukannya sendiri sehingga ia memanfaatkan Sungai Brantas yang menjadi penyuplai air bersih bagi Surabaya untuk melakukan serangan penyakit. Ia bersama pasukannya membuat bendungan di Sungai tersebut. Setelah pasokan air menuju Kota Surabaya mulai berkurang, mereka memasukkan bangkai dan buah aren dengan harapan penduduknya akan terkena penyakit sehingga pasukan Mataram akan mudah menyerang Kota Surabaya. Strategi tersebut tidak sia-sia. Selain masalah kelaparan tadi, kini muncul masalah baru, yaitu penduduk Kota Surabaya terjangkit wabah penyakit dan gatal-gatal yang luar biasa yang disebabkan bangkai dan buah aren tadi. Strategi ini diketahui oleh raja Surabaya dan raja memutuskan untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin pasukan Mataram karena raja tidak tega pada rakyatnya yang terkena wabah ini. Raja Surabaya Jayalengkara mengirimkan anaknya, Pangeran Pekik, beserta 1000 pasukan untuk menemui Tumenggung Oneng. Dan akhirnya, pada 27 Oktober 1625 Surabaya menyerah pada Mataram. Ya ya ya. Pun demikian halnya dengan pertarungan antara Gus Ipul (GI) vs Khofifah Indar Parawansa (KIP). Sebuah pertarungan head to head yang berkepanjangan layaknya perang Mataram vs Surabaya. Sebagaimana layaknya kegagalan Mataram, KIP juga sudah dua kali mengalami kegagalan dalam upayanya merebut Kursi Jatim 1. Pertama di Pilgub Jatim 2008 dan keduanya di Pilgub Jatim 2013. Dua kali kegagalan beruntun menghadapi pertahanan tangguh GI saat masih berpasangan dengan Pakde Karwo. Dan kedua-dua kekalahan sama sekali tidak bisa dilepaskan dari peran penting Madura sebagai basis pertahanan utama GI, sebagaimana Madura menjadi pertahanan dan penopang utama Surabaya dari serangan Mataram. Sebagaimana Mataram yang tak pernah jengah untuk menaklukkan Surabaya, demikian juga halnya dengan KIP. Dua kali kekalahan tak membuatnya ciut nyali. Untuk ketiga kalinya KIP yang kali ini ditemani Emil Dardak menantang GI dan Puti Guntur Soekarno. Jika pada dua Pilgub sebelumnya KIP harus membentur tembok Pakde Karwo, kali ini justru Pakde Karwo meninggalkan GI dan berpihak pada dirinya. Sebagaimana Sultan Agung mendapat suntikan kekuatan dari Lasem yang dalam dua perang sebelumnya berpihak pada Surabaya. Dan agaknya KIP sedikit banyak telah belajar dari dua kekalahan sebelumnya, sebagaimana Sultan Agung belajar dari dua kekalahan kakek dan ayahnya. Ya ya ya. Secara khusus KIP mencoba menyerang dan menaklukkan Madura yang dalam dua kali kesempatan sebelumnya menjadi batu sandungan utama bagi upayanya merebut Kursi Jatim 1. Sebagaimana Sultan Agung sampai mengerahkan kekuatan tambahan untuk menaklukkan Madura, demikian halnya dengan KIP. Bukan hanya dengan memperbanyak volume kunjungan ke Madura sejak jadi Mensos, KIP juga memperluas jejaring opinion leader di Pulau Garam tersebut. Tercatat 1000 Kyai dan Santri Madura telah membubuhkan tanda tangannya guna mendukung KIP. Belum lagi jaminan dari mantan Kabakin Hendropriyono untuk menjaga suara KIP di Madura. Pendeknya, KIP secepatnya ingin merebut hati pemilih, dengan langkah-langkah ofensif dan massifnya. Tapi apakah itu saja sudah cukup? Ya ya ya. KIP harus belajar banyak dari bagaimana sabarnya Sultan Agung menata strategi menaklukkan Surabaya. Sebagaimana Sultan Agung memilih menyerang dan menguasai dulu daerah-daerah basis pendukung Surabaya, sepertinya KIP juga perlu memandang penting strategi ini. Menyerang dan menguasai Madura saja tidak cukup. Sebagaimana Sultan Agung menguasai Tuban, KIP-Emil juga harus menyerang Pantura Barat. Sebagaimana Sultan Agung menyerang Pasuruan, KIP-Emil juga harus menaklukkan Tapal Kuda. Dan sebagaimana Sultan Agung menguasai Madiun, maka KIP-Emil juga harus menyerang Mataraman. Memastikan penguasaan atas wilayah Mataraman, Pantura Barat, Tapal Kuda dan Madura sebelum menusuk jantung wilayah Arek ala strategi Sapit Urang Sultan Agung layak untuk difikirkan. Ya ya ya. Desa mengepung kota. Menguras habis energi musuh sebelum sampai pada pertempuran yang sesungguhnya. Membendung arus dukungan dari wilayah-wilayah dan komunitas-komunitas penyangga, mengobarkan strategi psywar dengan data dan konten yang akurat melalui serangan udara dan jejaring sosial adalah bentuk aplikasi Tumenggung Mangun Oneng saat membendung Sungai Brantas dan menyebarkan teror kelaparan dan penyakit. Ya ya ya. Sebagaimana perang Mataram vs Surabaya, inti dari pertarungan antara GI-Puti vs KIP-Emil adalah di wilayah Arek. Dengan penduduk terbesar, pusat informasi dan komunikasi, pusat perlintasan seluruh penduduk Jatim maka membuat wilaya Arek akan menjadi penentu yang sesungguhnya siapa yang akan memenangkan pertarungan. Jika pada tulisan sebelumnya saya menggambarkan GI-Puti bisa belajar dari strategi perang Gajah Sayuta - nya Rakai Pikatan Mpu Manuku untuk menjebol pertahanan tangguh KIP yang ditopang kuat oleh loyalis muslimat, maka sebaliknya KIP-Emil bisa belajar dari strategi perang Sapit Urang - nya Sultan Agung. Siapa yang lebih memahami dan lebih bisa mengaplikasikan strategi perang tersebut , maka kemenangan menjadi lebih dekat. Yuk, kita nikmati saja jalan cerita selanjutnya. Buuuuum. *) Penulis adalah Dosen Universitas Trunojoyo Madura

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait