Baca Juga : Peduli Sesama, Alumni SMPN 12 Surabaya Gelar Acara Sosial Di CFD Taman Bungkul
"Tet tot...tet tot....tet tot....tet tot..." Mendangar suara tersebut Dilanti segera berlari keluar rumah. Belum sampai membuka pagar ia berteriak memanggil penjual makanan itu karena takut keburu menjauh. "Paaaak, beli pentol" Seiring kemudian ia membuka pagar melongok penjual yang baru saja melintas. Penjual itu memang berhenti. Tapi ia tidak menjual pentol, melainkan gethuk lindri. Dilanti pun mengurungkan niatnya. Penjual gethuk lindri meneruskan lajunya menjajakan gethuk lindri. "Tet tot...tet tot....tet tot....tet tot..." Sungguh ini menggelikan. Kebanyakan (tapi sungguh tidak semua) pedagang keliling di kampung-kampung Surabaya menjajakan dagangannya dengan alat yang berbunyi tetot tetot itu. Mulai dari penjual pentol, penjual siomay, cilok, cimol, hingga menular ke penjual gethuk lindri. Padahal, dulu para penjual gethuk lindri ini menjajakan dagangannya dengan cara cukup unik, mungkin bagi anak zaman sekarang dianggap norak. Pedagang gethuk lindri, baik yang rombongnya didorong atau dikayuh, menjajakan dagangannya dengan memutar musik dengan sangat keras melalui pengeras suara corong, persis yang digunakan di masjid atau musala. Jelas kualitas suara sangat buruk dan memekakkan telinga. Musik yang diputar pun kebanyakan lagu dangdut. Sungguh semacam teror bagi telinga. Apalagi penjual gethuk lindri itu dulu biasanya melintas siang hari saat kebanyakan orang tidur. Sungguh cara menjajakan dagangan yang sangat norak. Dulu para penjual gethuk lindri memutar musik dari tape. Kaset yang digunakan pun bajakan. Bisa dibayangkan saat alunan musik yang keras itu tiba-tiba kasetnya mbulet. Sebuah polusi suara telah terjadi. Meski demikian, masyarakat tidak ada yang marah saat lindri si norak itu melintas. Bahkan lebih banyak mereka yang sedang kepingin makan getuk akan menyambut suara "teror" itu dengan sangat gembira. Pasalnya, gethuk lindri yang berasal dari Jawa Tengah ini sangat lezat rasanya. Padahal berdasar penelitian yang pernah ada di luar negeri, mendengarkan musik dengan suara yang keras merupakan salah satu bentuk paparan dari polusi suara. Oleh karena itu, secara umum perhatian utama dari dampak negatif suara keras adalah pada telinga. Efek negatif tersebut mungkin tidak hanya bagi kesehatan telinga. Sebuah studi baru menemukan, efek kerusakan dari suara keras bahkan bisa menjalar pada bagian lain dari tubuh sehingga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan gangguan tidur. "Dalam kehidupan sehari-hari, suara keras tidak dapat dihindari dan ketersediaan tempat yang tenang sudah jarang. Itulah mengapa, kita harus lebih mengerti paparan suara tersebut terhadap kesehatan kita secara keseluruhan," ujar salah satu peneliti studi dr Mathias Basner, asisten profesor tidur dan kronobiologi di Perelman School of Medicine, University of Pennsylvania. Suara keras, imbuhnya, dapat berasal dari banyak hal, seperti mendengarkan musik terlalu keras, suara klakson kendaraan, alarm, atau mesin. Tanpa sadar suara-suara tersebut dapat berpengaruh buruk bagi banyak bagian tubuh. Tim peneliti menganalisis studi observasi dan ekperimental selama lima tahun. Mereka menemukan, paparan suara keras dapat menyebabkan dampak yang lebih luas dari sekedar masalah pendengaran, seperti misalnya gangguan tidur. Dampak tersebut kemudian diketahui berkaitan pula dengan peningkatan risiko hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke, dan penurunan kemampuan kognitif pada anak-anak. Ah, mungkin peneliti itu harus ke Indonesia untuk menjelaskan, suara bising corong penjual makanan keliling getuk lindri itu malah ditunggu. Gethuk lindri dibuat dari singkong yang dikukus hingga empuk. Saat masih panas, singkong ditumbuk hingga benar-benar halus. Setelah halus, masukkan gula, air dan vanili yang sudah dilarutkan bersama, lalu diaduk dengan singkong hingga tercampur rata. Adonan singkong tersebut kemudian diberi pewarna makanan agar lebih menarik. Ada warna coklat, hijau, pink, kuning, ataupun warna alaminya yaitu putih. Setelah diberi pewarna, barulah singkong yang sudah halus ini dimasukkan ke dalam gilingan, lalu dipotong-potong. Saat disajikan, biasanya diberi taburan kelapa parut yang membuat rasanya gurih. Kini makin banyak variasi rasai getuk lindri yang tak hanya menambahkan pewarna saja, namun juga menambahkan rasa-rasa tertentu seperti cokelat, keju, strawberry dan pandan. Ya, kini gethuk lindri memang sudah sangat jarang dijajakan keililng kampung. Sangat jarang itu berarti masih ada, namun juga sudah banyak kehilangan identitasnya. Cara menjajakannya sama, seragam dengan makanan lainnya. Lebih mudah mencari gethuk lindri di hotel yang dihidangkan dengan menarik bersama jajan pasar lainnya dari pada mencari di penjual keliling. Selain penjualnya semakin sedikit, cara menjualnya juga tidak lagi berciri khas. Identitas Lindri yang Terlipat Gethuk lindri memang masih ada, tapi ia sudah kehilangan identitasnya, norak tapi enak. Ia mengalami penyeragaman (kemungkinan besar ini terjadi tanpa disadari). Bisa jadi para penjual tak mau lagi repot menggunakan corong. Ia (baca: gethuk lindri) seperti terjebak dalam budaya global (tiba-tiba penulis teringat lagi buku Dunia Yang Dilipat karya Yasraf A. Piliang). Entah berlebihan atau tidak, gethuk lindri merupakan salah satu hasil dari sekian banyak budaya lokal yang diserang budaya global. Featherstone (dalam Yasraf A. Piliang, 2004: 286) melihat budaya global tidak hanya dalam konteks penciptaan homogenisasi budaya, yaitu penyeragaman budaya dunia berdasarkan satu model dan strategi kebudayaan. Tetapi juga dalam konteks familiarisasi terhadap keanekaragaman kultural yang lebih luas dan kaya. Hanya saja, familiarisasi budaya ini, pada kenyataannya tidak pernah terwujud, disebabkan para pemain utama di dalam ekonomi global, tidak mampu atau tidak mau memahami komplesitas relasi-relasi kultural tersebut. Ia memaksakan model budaya ekonomi yang seragam di berbagai tempat yang berbeda dan di dalam waktu yang berbeda. Kedua lembaga ini tampak berfungsi sebagai tangan-tangan Barat, yaitu sebagai pelindung nilai-nilai universal atas nama dunia yang dibentuk dalam citra dirinya sendiri (self image). Homogenisasi budaya semacam ini dianggap oleh berbagai pihak telah menimbulkan berbagai tantangan dan ancaman bagi berkelanjutan budaya-budaya lokal di masa depan. Meskipun demikian, konsep budaya lokal itu sendiri tampaknya masih terlalu umum untuk menjelaskan berbagai kecenderungan lokal, yang dilandasi oleh keanekaragaman ideologi, seperti suku, ras, agama, daerah. Featherstone merumuskan budaya lokal sebagai sebuah kebudayaan dari ruang yang relatif kecil yang di dalamnya individu-individu yang hidup di sana melakukan hubungan sehari-hari secara face to face. Budaya global menjadi sebuah persoalan, ketika budaya-budaya lokal terintegrasi ke dalam struktur-struktur yang lebih bersifat impersonal. Ah, tapi mungkin terlalu terlalu berlebihan membahas gethuk lindri dengan bermacam teori budaya ini. Yang pasti gethuk lindri tetaplah makanan tradisional yang kini jarang ditemui keliling kampung dengan suara musik dari corong, tapi ia sudah saba hotel. Si lindri kini tidak norak lagi. (zaki zubaidi)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.