Escape From NII: Perjalanan Rahasia Menuju Jakarta 8

Baca Juga : Bom Bunuh Diri Guncang Polsek Astana Anyar, Ini Seruan Ansor Jatim

Penulis: Ika Maya Malam itu saya tak bisa tidur. Resah dan gelisah memikirkan alasan apa yang harus kusampaikan ke Mamakku. Meski saya ini nekatan, tapi ketika saya diancam masuk neraka jika membocorkan rencana hijrah saya ini, saya jadi takut juga. Tekanan berat selanjutnya bagi Cucut kecil yang malang kala itu. Ah, kutemukan juga alasan bohong untuk mamakku. Mamak, kita besok mo pi Pacitan ada survei lokasi kuliah lapangan. Ngana manginap? Iyo, manginap sekitar 3 hari. Berangkat deng sapa? Deng kita pe teman, naik motor. Kita harus berangkat Mak, dosen yang suruh. Hati-hati ngana, Eka! Siapa nama ngana pe teman? Ada lah Mamak, sama kakak kelas juga ini. Ah...maafkan kita, Mamak. Esok paginya, saya berangkat ke bank mengambil sejumlah uang. Simpananku, simpanan terakhirku. Bismillah Ya Allah, niatanku baik tolong lindungi hambaMu ini. Mbak Z terus menemani langkah saya. Berangkatlah kami ke tempat pengajian untuk pengecekan data lagi. Orang-orang yang kemarin saya temui sudah berganti lagi. Tak ada ustadz Betawi paruh baya itu, tak ada mas pemberi kajian itu. Aneh.Ternyata, kami tak benar-benar berkumpul di Stasiun Wonokromo. Kami menuju di perbatasan rel kereta api ke daerah menuju Sidoarjo. Di situ sudah ada mobil Carry yang menunggu, dan mas ekstrim yan saya temui di tempat pengajian sudah berdiri di samping pintu mobil. Selesai sudah tugas mbak Z mengantar saya. Tunggu bentar ya dek, nunggu dua kawan lagi. Saya duduk membelakangi sopir, di depan saya duduk dua laki-laki muda sekitar 25 tahunan. Dan ada seorang perempuan berwajah lugu. Semuanya cuma diam dan melemparkan pandangan, seolah takut ingin bersuara. Mungkin mereka juga sudah disumpah untuk merahasiakan nama dan asalnya. Cucut kecil yang selalu penasaran ini tak patah semangat. Setelah celinguk kanan kiri memeriksa posisi berdiri mas ekstrem, saya memberanikan diri mendekati perempuan lugu itu. Bisik-bisik saya menanyakan namanya. Sialnya saya bukan pengingat nama yang baik, saya cuma ingat logat Jawanya yang khas. Dari Tuban katanya, pembantu rumah tangga profesinya. Ooh bukan Surabaya ternyata. Saya pun tersenyum manis pada dua mas-mas di depanku. Tulungagung, kata mas satu. Bojonegoro, kata mas dua. Mereka pegawai pabrik dan sengaja membolos di hari itu. Tak lupa saya senyum dan berkata, Alhamdulillah ya kita bisa hijrah. Si pembantu rumah tangga tadi bilang, saya mbohongi juragan saya mbak pamit pulang kampung. Ooh saya juga bohong bu. Akhirnya dua orang yang ditunggu datang. Mas ekstrem kemudian duduk di samping sopir. Oh iya, dua mas ekstrem yang duduk di bangku sopir dan samping sopir bukan orang Jawa, seperti orang Jakarta. Tak ada orang yang sedaerah. Saya, mbak pembantu itu, dua mas-mas itu, dan dua orang lagi yang baru datang benar-benar seorang diri tak berkawan tak saling mengenal. Sekali lagi, secara psikologis kami kalah. Rapi sekali cara kerja mereka. Kami dibiarkan dalam kondisi sendiri dalam kelompok asing. Kami dibawa menuju Stasiun Pasar Turi. Di Stasiun Pasar Turi ternyata sudah menunggu seorang mas ekstrem lainnya, wajah baru lagi dan masih sama logat Jakarta. Dua mas ekstrem yang mengantar kami tak ikut naik kereta. Kami berlima diserahkan ke mas ekstrem yang baru lagi. Saat itu kami naik kereta api ekonomi, yang harga tiketnya cuma Rp. 50 ribu. Saya mengumpat-umpat dalam hati, Sial! Brengsek! Setan! Taik! Kalau cuma naik kereta kampret ini kenapa mereka minta sejuta. Kereta api ekonomi di jaman dahulu kala sangatlah jauh dari kata nyaman saudara-saudara sekalian. Penuh sesak orang, bau pesing, bau ketek, dan bau abab penjual asongan yang terus mengganggu penumpang dengan cueknya. Alhamdulillah, kami mendapat tempat duduk istimewa: di atas lantai. Kampret! Kampret! Sejuta cuma naik kereta kampret! Mas ekstrem pemandu kami terus berpesan, duduk berpencar! Jangan mencurigakan!. Kereta api ini sungguh pilihan yang sempurna untuk pengkamuflasean. Tak ada orang yang memperhatikan kami, semua sibuk menyaman-nyamankan diri di kendaraan jelek ini. Begitu pun kami, kutatap wajah pembantu rumah tangga di depanku ini. Takutkah dia? Tahukah dia apa yang dia lakukan? Apa kira-kira yang akan dia lakukan setelah ini? (bersambung) * Penulis adalah alumnus Jurusan Antropologi FISIP Unair dan mantan Ketua Teater Puska Surabaya

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait
Berita Terpopuler
Berita Terbaru