Baca Juga : Jika Tetap Non-Parpol, Peluang Khofifah di Pilgub Jatim 2024 Terancam
Esai: Mochtar W Oetomo Adalah Nyi Ratna Herang. Biduanita jelita dari Desa Ciherang Kuningan. Masyhur bukan kepalang di era 1920-an. Bukan hanya di tlatah Kabupaten Kuningan dan sekitarnya, tapi semerbak mewangi hingga ke seluruh penjuru Tatar Sunda. Adalah Nyi Ratna Herang. Usianya masih 19 tahun kala meraih puncak kejayaannya. Sebagai seorang Ronggeng, Nyi Ratna Herang bukan hanya masyhur karena kepiawaiannya dalam menari dan bernyanyi yang konon pada waktu itu sulit sekali mencari penanding dalam hal kemampuan olah suara dan olah gerak tari. Tiap gerak tarinya mampu membetot mata penonton untuk ikut larut, sementara tiap oktaf nyanyiannya mampu menghipnotis pendengar untuk melakukan apa saja sesuai permintaan Nyi Ratna Herang. Lebih dari semua kemampuan olah vokal dan tari yang mumpuni dan tak terbantahkan, pesona utama Nyi Ratna Herang yang begitu cepat mengerek popularitasnya adalah kecantikan rupa dan kemolekan ragawinya. Konon tak ada seorang pendongeng, tak seorangpun pelukis, tak seorangpun penyair yang mampu menggambarkan secara tepat bagaimana kecantikan rupa, kemolekan raga dan keindahan kulit dan rambut Sang Ronggeng. Selalu saja kurang dan kurang jika dibandingkan kecantikan dan komolekan Nyi Ratna Herang yang sesungguhnya. Ya ya ya. Pesona ragawi yang perlahan tapi pasti justru mengubur kemampuan olah vokal dan tari yang sempurna. Menjalar dengan cepat dari satu mulut lelaki ke mulut lelaki lainnya. Menyeruak ke seluruh wilayah Tatar Sunda dan bahkan tlatah barat Jawa. Membuat setiap pertunjukkan Nyi Ratna Herang sesak dipenuhi oleh lelaki dari segala usia dan penjuru. Ada yang sekadar ingin melihat dan membuktikan kabar angin tentang pesona ragawi Nyi Ronggeng yang tak tertandingi, sampai yang berhasrat kuat untuk bisa menari bersama Sang Jelita. Bahkan tak kalah banyak pula yang ingin mendapat kesempatan untuk bisa meniduri Sang Biduan meski hanya semalam, hingga sampai yang gelap mata ingin memiliki dan memperistrinya. Karena berkelindannya hasrat para lelaki itu, maka tak jarang dalam setiap pertunjukan Nyi Ratna Herang acapkali dibumbui dengan keributan dan kericuhan. Anehnya berbagai keributan akibat pertunjukkan Nyi Ratna justru makin membuat popularitasnya berkibar-kibar di langit Tatar Sunda. Hingga pada akhirnya Nyi Ronggeng bukan lagi sekadar menjadi rebutan untuk disewa oleh para penyelenggara hajatan, tapi juga jadi rebutan para calon kepala desa yang tengah bertarung memperebutkan posisi. Kemampuan Nyi Ratna Herang mengumpulkan sebanyak-banyak orang menjadikannya bahan rebutan bagi para kandidat demang dan lurah di berbagai penjuru. Bahkan kemudian seperti menjadi sebuah mitos, siapapun kandidat yang berhasil menyewa dan menggelar pertunjukan Nyi Ronggeng Ratna Herang maka dia akan memenangkan kompetisi. Ya ya ya. Bahwa mempergunakan penyanyi, penari, aktris, selebriti, penghibur dan pesohor dalam sebuah kompetisi politik elektoral sesungguhnya telah ada sejak jaman dulu. Bahkan dalam salah satu relief Karmawibhanga di Candi Borobudur pun jelas tergambar betapa dunia pertunjukkan ronggeng dengan segenap pemanfaatan politisnya telah lazim ada di bumi Nusantara ini. Maka tak heran jika para kandidat yang berkompetisi di Pilgub Jatim dan berbagai Pilbup dan Pilwali di Jatim juga menggunakan kelebihan para penyanyi dan pesohor sebagai salah satu bagian dari strategi pemenangannya. Sebagaimana kita tahu, pasangan Gus Ipul - Puti Guntur merangkul Via Vallen dan Nella Kharisma dua penyanyi dangdut koplo yang tengah ada pada posisi puncak popularitas karena kemampuan skill dan pesona ragawinya. Jingle Kabeh Sedulur Kabeh Makmur yang dinyanyikan oleh Via Vallen segera saja menyeruak di setiap acara dan kegiatan yang berkaitan dengan pemenangan pasangan Gus Ipul - Puti. Melalui jingle tersebut secara bersama-sama popularitas Gus Ipul - Puti sekaligus Via dan Nella kian berkibar-kibar. Via dan Nella di Jatim ibarat Nyi Ratna Herang di Tatar Sunda di masa lampau, memiliki magic untuk mengumpulkan sebanyak-banyak pemilih karena kemampuan skill dan pesona ragawinya yang komplit. Pasangan Khofifah - Emil pun tak mau kalah. Tengah mempersiapkan Anang, Ashanti dan Aurel serta pesohor-pesohor lain yang disediakan oleh PAN guna menandingi Via Vallen dan Nella Kharisma. Bahkan Emil Dardak yang notabene memang memiliki kemampuan olah vokal, tak mau ketinggalan, dalam berbagai acara dan kesempatan selalu berusaha menyumbangkan satu lagu, difoto, divideo, diviralkan. Maka Pilgub Jatim 2018 sesungguhnya telah menjelma bukan saja sebagai ajang kompetisi antar paslon tapi juga ajang pertarungan bagi para penyanyi dan pesohor. Sebagaimana Nyi Ratna Herang, kemampuan para penyanyi dan pesohor ini dalam mengumpulkan masa pemilih diharapkan juga membawa dampak elektoral bagi para penyewanya. Setidaknya fans dari masing-masing penyanyi dan pesohor akan terpengaruh dan mengikuti ajakan dan pilihan idolannya. Fans Via Vallen yang tegabung dalam Vyanisti dan fans Nella Kharisma yang tergabung dalam Nella Lovers konon mencapai jutaan, lebih besar dari fans politisi manapun di Jatim. Demikian juga dengan fans Anang dan Ashanti sebagai penyanyi papan atas juga tak bisa diremehkan. Tapi benarkah sesederhana itu perilaku pemilih di Jatim ini? Benarkah mitos siapa yang menyewa Nyi Ratna Herang dia yang akan menang secara linear juga akan terjadi di Jatim? Sebentar dulur. Jangan keburu nggumunan. Lihatlah akhir tragis dari nasib Nyi Ratna Herang. Tibalah waktunya. Ketika popularitas, kecantikan dan bakat justru menjadi kutukan jika tak dikelola dengan baik. Dalam sebuah pertunjukkan akbar yang dihadiri oleh para bangsawan, pendekar dan juragan yang tak terbilang, kali ini seluruh nasib baik yang dimiliki Nyi Ratna Herang justru berbuah petaka. Kericuhan dan keributan besar pecah tak terkendali. Saling tikam dan bunuh karena hasrat yang tak terbendung untuk bisa menari dan tidur semalam bersama Sang Ronggeng. Benar-benar tak terkendali karena saking banyaknya jumlah penonton yang datang. Dan entah siapa yang melakukan diantara suasana ricuh dan ribut itu, tiba-tiba saja Sang Biduan telah rebah bersimbah darah, menanggung luka yang tak terperi. Mati. Dan tak ada yang paling pantas untuk dijadikan kambing hitam bagi semua keributan itu, selain Nyi Ratna Herang sendiri. Tragis. Sang Pujaan dalam sedetik berubah menjadi Sang Pendosa. Mayatnya dilempar ke sungai Cigede tanpa sedikitpun rasa puja tersisa. Nyi Ratna Herang pujaan tiap lelaki Tatar Sunda tewas dengan cara yang sangat mengenaskan di usia yang masih sangat belia, 19 tahun, di puncak popularitasnya. Ya ya ya. Mengharapkan massa pemilih yang banyak terkumpul dengan tempo cepat dari pesona para penyanyi dan pesohor memang sudah pada tempatnya. Tapi mengharapkan pemilih itu mengikuti ajakan atau pilihan idolanya jelas adalah berlebihan. Penyanyi dan pesohor adalah pengumpul massa bukan pengumpul suara (vote getter). Kandidatlah pengumpul suara yang sesungguhnya. Kawula memang perlu gumuyu. Rakyat memang perlu hiburan. Tapi hiburan yang hakiki bagi rakyat pemilih bukanlah nyanyian, tarian dan foto bersama dengan idola. Nyanyian, tarian, kehadiran Sang Idola memang bisa menghibur sejenak, tapi hiburan yang sesungguhnya adalah kesejahteraan, keamanan, kepastian. Apa yang bisa dijaminkan oleh para kandidat untuk kesejahteraan, keamanan dan kepastian rakyatnya melalui berbagai visi, misi dan program kerja jika kelak terpilih itu jauh lebih substansial dan hakiki. Ya ya ya. Pilgub Jatim 2018 mestinya bukan hanya sekadar menjadi pertarungan antar-penyanyi dan pesohor. Lebih dari itu harusnya menjadi pertarungan ide, gagasan, visi, misi dan program kerja antar kandidat tentang bagaimana rakyat menjadi sejahtera, aman dan terhibur dalam arti yang sesungguhnya. Memiliki Nyi Ratna Herang sebagai bagian dari strategi pemenangan bolehlah dianggap sebagai capaian. Tapi jika tidak mampu mengelola dengan baik, maka hasilnya bisa jadi justru menjelma tragika Nyi Ronggeng. Bukan kemenangan yang didapat, sebaliknya adalah sasaran pengkambinghitaman yang salah-salah akan membawa pada kekalahan, kebinasaan. Jika sudah begitu, maka nama besar yang dibangun bertahun-tahun oleh kandidat dan popularitas yang didapat dengan berdarah-darah hanya akan menjadi sebuah cela yang segera dicampakkan dan dibaikan. Sebagaimana mayat Nyi Ratna Herang yang membusuk mengikuti aliran sungai Cigede. Sebagaimana aliran Kali Brantas dan Kali Mas yang terlupakan entah menuju samudera mana. Ya ya ya. Begitulah. Jreng jreng !! *) Penulis adalah dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.