Baca Juga : Rayakan Hari Pahlawan, Reni Astuti Adakan Lomba Komik
Aksi heroik arek-arek Surabaya saat melawan Sekutu pada 10 November 1945, membuat ribuan tentara tewas. Namun ada satu peristiwa menarik dalam palagan Surabaya tersebut. Yaitu sebuah bambu runcing yang berada di tangan para pejuang seperti bernyawa. Sebelum senjata tentara sekutu diletuskan, bambu kuning berujung lancip yang disuwuk (diberi doa) Mbah Manshur asal Desa Kalipucung, Kecamatan, Sanankulon, KabupatenBlitar, tiba tiba melesat. Bambu runcing itu terbang sendiri memburu sasarannya. "Banyak yang cerita seperti itu (bambu runcing terbang sendiri) dalam pertempuran 10 November di Surabaya," tutur Kiai Muhammad Hisyam Manshur (82) atau Mbah Hisyam kepada MNC Media. Mbah Hisyam merupakan putra bungsu Mbah Manshur. Di kalangan santri dan ulama pejuang 10 November, bambu runcing sepuhan Mbah Manshur banyak diperbincangkan. Saat itu (10 November) saya berumur sekitar tujuh tahun. Masih duduk di SR (sekolah rakyat). Namun melihat langsung orang orang yang ingin bertemu bapak saya (Mbah Manshur)," kata Mbah Hisyam. Perang melawan tentara Inggris yang diboncengi Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia, dimulai pada akhir Oktober 1945. Puncaknya 10 November 1945. Inggris yang marah atas kematian Brigadir Jendral AWS Mallaby, membombardir Surabaya hingga luluh lantak. "Jumlah penduduk kota merosot tajam. Pada 23 Agustus 1946, jumlah penduduk kota hanya berjumlah 171.715 orang". Sementara para santri dari berbagai daerah, termasuk di Blitar, justru beramai ramai mempersiapkan diri berjihad ke Surabaya. Di pekarangan halaman rumah Mbah Manshur yang kini berdiri bangunan madrasah tarbiyatul mubalighin dan TPA Nurul Huda Kalipucung, orang-orang pada berkumpul. Saat itu, kata Mbah Hisyam, yang datang silih berganti. Sebagian besar dari kalangan santri, yakni terutama Nahdliyin. Kemudian para tentara Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Termasuk di luar santri atau abangan, juga ikut berdatangan. Mereka, kata Mbah Hisyam terlecut oleh Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) yang dikeluarkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. "Semuanya minta digembleng Mbah Manshur sebelum berangkat ke Surabaya. Banyak juga yang menginap berhari hari," papar Mbah Hisyam. Mbah Manshur adalah putra Mbah Abu Manshur, yakni salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang pasca-Perang Jawa (1825-1830) dikejar kejar Belanda dan memutuskan lari ke wilayah timur (Jawa Timur). Merunut dari silsilah keluarga, ayah Mbah Manshur (Mbah Abu Manshur) atau kakek Mbah Hisyam merupakan keturunan Kiai Nur Iman alias Raden Mas Sandiyo, yakni trah Raja Mataram Islam yang mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Mlangi, konon berasal dari kata "Mulangi" yang berarti mengajar. "Terbilang masih cucu Mbah Nur Iman," jelas Mbah Hisyam. Sebagai keturunan ulama pejuang, Mbah Manshur yang bernama kecil Yasin tersebut, banyak menghabiskan waktu di pondok pesantren. Di masa mudanya berpindah dari satu ponpes ke ponpes lain. Menurut Mbah Hisyam, ayahnya (Mbah Manshur) merupakan santri Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari Ponpes Tebuireng Jombang, kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bersama Mbah Sholeh, kakak sulungnya, Mbah Manshur juga pernah nyantri ke Mbah Cholil (KH Syaikhona Cholil) Bangkalan Madura. Kata Mbah Hisyam, ada cerita lucu saat kakak beradik itu pertama kali menginjakkan kaki di pondok Mbah Cholil Bangkalan Madura. Keduanya langsung dikepung, dan dalam situasi menegangkan itu, Mbah Cholil mengatakan "malinge wes dikepung (malingnya sudah dikepung)". "Ternyata bahasa kiasan. Yang dimaksud Mbah Cholil adalah maling ilmu," terang Mbah Hisyam dengan tertawa. Dalam perjalanan riyadhahnya (tirakat), Mbah Manshur juga pernah mondok di Ponpes Mojosari, Nganjuk yang didirikan KH Ali Imron. Seingat Mbah Hisyam, ayahnya juga pernah nyantri di Ponpes Tremas, Pacitan. "Insya Allah juga pernah nyantri di Ponpes Tremas, Pacitan," tambah Mbah Hisyam. Sebagai kiai sekaligus pejuang laskar Sabilillah, Mbah Manshur terkenal memiliki kemampuan ilmu kanuragan (ilmu kesaktian) yang pilih tanding. Suwuknya ampuh. Gemblengannya jaduk. Tidak hanya soal ilmu kebal. Suwuk Mbah Manshur mampu menyulap bambu runcing menjadi senjata ampuh yang tidak kalah dengan kemutakhiran bedil sekutu. "Yang disuwuk atau diasmaki tidak hanya bambu runcing. Tapi juga pedang, parang, golok dan bedil," terang Mbah Hisyam. Seingat Mbah Hisyam, tidak ada proses perendaman di kolam seperti cerita yang beredar selama ini. Yang ia tahu, bambu runcing yang hendak disepuh atau disuwuk hanya diikat menjadi satu dan digeletakkan di atas tanah. Bambu selengan orang dewasa tersebut dibawa masing masing pejuang. Sebagian besar berjenis bambu kuning dan bambu jabal. Di depan santri pejuang, Mbah Manshur memanjatkan doa. Usai merapal mantra, bibirnya meniup bambu runcing yang terikat menjadi satu tersebut. Tiga kali tiupan. Saat bersamaan, dipimpin oleh Mashudi dan Mansuri, yakni kakak kandung Mbah Hisyam, para santri berdoa berjamaah dengan suara keras. "Prosesnya hanya ditiup. Setahu saya tidak ada bambu yang direndam di kolam," kata Mbah Hisyam. Hasilnya dahsyat. Cerita dari mulut ke mulut yang didengar Mbah Hisyam, bambu runcing asmaan Mbah Manshur seperti memiliki nyawa. Saat para pejuang berhadap hadapan dengan tentara sekutu, bambu itu tiba tiba bergetar, lalu terbang sendiri menyerang lawan. Mbah Hisyam menyaksikan sendiri, bagaimana tali yang dipakai mengikat bambu runcing saat suwuk ditiupkan, ternyata juga bertuah. Sejumlah orang yang tanpa sengaja melangkahi tali yang diletakkan di atas tanah begitu saja, mendadak lemas dan pingsan. "Kalau dinalar memang tidak masuk akal. Bambu runcing bisa mengalahkan senapan mesin," kata Mbah Hisyam. Menurutnya, saat itu seluruh penyepuhan bambu runcing para pejuang santri asal Jawa Timur yang sebelumnya dilakukan di Paraan, Temanggung, berpindah ke Mbah Manshur Blitar. "Tidak hanya pejuang santri Blitar dan sekitarnya. Tapi seluruh daerah di Jawa Timur," tambah Mbah Hisyam. Dia mengingat saat itu, masih dalam suasana perang, Bung Tomo sang orator pertempuran 10 November Surabaya, juga pernah menemui Mbah Manshur. Gus Maksum atau Kiai Maksum Jauhari dari Lirboyo Kediri yang sekaligus pendiri perguruan silat NU Pagar Nusa, juga rutin bertemu ayahnya. Setiap bulan puasa, Gus Maksum mondok di tempat Mbah Manshur. Dilanjutkanya Mbah Hisyam, ayahnya tiga kali terjun langsung ke medan pertempuran di Surabaya. Pada saat Belanda melancarkan agresi pertamanya, Mbah Manshur sempat dicari dan dikejar kejar karena ketahuan sebagai penyepuh bambu runcing. "Kami sekeluarga sempat mengungsi di kawasan gunung gedang, daerah lereng Gunung Kelud," kenang Mbah Hisyam. Pada masa setelah kemerdekaan, Mbah Manshur aktif sebagai pengurus Partai Masyumi, mewakili unsur NU. Mbah Manshur wafat pada tahun 1964 karena sakit. Dari delapan orang putra putri Mbah Manshur, menurut Mbah Hisyam hanya tinggal dirinya yang masih hidup. Kakek enam cucu itu berharap kisah perjuangan merebut sekaligus mempertahankan kemerdekaan yang melibatkan kaum santri dan ulama, bisa menginspirasi generasi muda saat ini. "Terutama generasi muda yang datang dari kalangan pondok pesantren," tutup Mbah Hisyam. (Sumber: Okezone)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.