Baca Juga : Pesisir Jawa Wadpadai Banjir Rob
Portaltiga.com - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengatakan fenomena Surya Pethak atau Matahari tampak memutih berpotensi terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Fenomena Surya Pethak diduga menyebabkan suhu Bumi termasuk di Indonesia lebih dingin. Mengutip edukasi sains LAPAN, efek dari surya pethak dapat membuat orang di atas bumi lebih mudah kedinginan dan menggigil. "Manusia akan mudah menggigil," kata peneliti LAPAN Andi Pangerang, dilansir CNN. Selain itu, tumbuhan juga tidak dapat tumbuh dengan optimal dan Kejadian tersebut dapat berlangsung paling lama 7 hingga 40 hari. Menurut Andi, fenomena Surya Pethak adalah saat matahari merona putih selama siang hari sejak terbit hingga terbenam. Jika dikaitkan dengan musim, surya pethak umumnya hanya terjadi di musim-musim penghujan, yang saat itu penguapan air cenderung tinggi sehingga kabut awan lebih mudah terbentuk. "Surya pethak hanya bisa terjadi jika kualitas udara di lokasi pengamatan kurang baik, dan dari sisi meteorologis, lokasi tersebut tertutup kabut awan, sehingga penghamburan (scattering) tidak sekuat ketika langit bersih dan cerah," katanya Adapun penyebab munculnya surya pethak karena letusan gunung berapi dan perubahan sirkulasi air laut yang dapat mempengaruhi penguapan dan pembentukan awan. Secara harfiah, katanya, surya "pethak" bermakna matahari tampak memutih. Surya "pethak" dapat dimaknai sebagai alam sunya ruri atau siang hari yang temaram seperti malam hari. Siang hari yang dimaksud di sini adalah dihitung sejak matahari terbit hingga matahari terbenam. Menurut dia sinar matahari yang biasa kemerahan ketika terbit dan terbenam akan memutih, sedangkan ketika matahari meninggi, sinar matahari tidak begitu terik dikarenakan terhalang oleh semacam kabut awan. Penurunan Aktivitas Matahari Fenomena surya pethak juga dikenal dengan kemungkinan kabut awan yang menyelimuti permukaan Bumi menimbulkan penurunan aktivitas Matahari, seperti yang pernah terjadi tahun 1645-1715 Fenomena tersebut dikenal dengan Maunder Minimum yang berasal dari seorang astronom Matahari, Edward Walter Maunder dan istrinya Annie Russell Maunder. "Fenomena ini berlangsung ketika zaman es kecil atau rendahnya suhu rata-rata bagi kawasan Eropa dalam waktu yang cukup lama, antara tahun 1550 hingga 1850," tulis Andi. "Meskipun demikian, tidak cukup bukti bahwa Maunder Minimum ini dapat menyebabkan zaman es kecil, terlebih lagi, awal zaman es kecil lebih awal seratus tahun daripada Maunder Minimum," lanjut Andi. Oleh sebab itu, hubungan antara siklus Matahari dan pendinginan iklim tidak terkait sama sekali. Apabila ada aktivitas Matahari minimum berkepanjangan, sehingga iklim Bumi mendingin (yang mana keduanya tidak terbukti), maka pendinginan dari aktivitas Matahari minimum yang berkepanjangan tidak mungkin mengurangi pemanasan yang disebabkan manusia dalam jangka panjang. "Akhir kata, dalam waktu dekat ini, fenomena surya pethak tidak akan terjadi setidaknya jika dikatikan dengan aktivitas Matahari," ujar Andi. Akan tetapi, fenomena surya pethak masih dapat dimungkinkan terjadi oleh letusan gunung berapi dan perubahan sirkulasi air laut yang hingga saat ini masih sulit diprediksi oleh para ilmuwan vulkanologi dan oseanografi. (cnn/abi)Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.