Umum

Surabaya Sudah Punya 2 Alun-Alun, Ini Sejarahnya

Baca Juga : Aliran Air PDAM Surabaya Mampet, Ini Penjelasan PDAM

Portaltiga.com - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sedang menyiapkan kawasan Gedung Balai Pemuda menjadi alun-alun Suroboyo. Pembangunan ini seolah-olah sangat penting dan harus segera terlaksana. Padahal, faktanya Surabaya sudah punya dua alun-alun. Masyarakat asli atau wong lawas Suroboyo pasti sudah tahu. Tapi generasi milenial masih banyak yang belum tahu, dimana letak alun-alun Surabaya. Alun-alun Surabaya itu ada di kawasan Tugu Pahlawan dan Bubutan. Sejarawan Universitas Airlangga, Adrian Perkasa menyebut sekitar abad ke-17 saat Sultan Agung berkuasa atas Kerajaan Mataram Islam, Surabaya memiliki keraton. Letaknya di wilayah Kramat Gantung atau Kampung Kepatihan, Bubutan. Seperti kebanyakan pusat pemerintahan Jawa kuno, Keraton Surabaya juga memiliki alun-alun. "Ada dua alun-alun yang dimiliki Surabaya, Utara atau Lor di Tugu Pahlawan dan Selatan atau Kidul di Alun-alun contong," ujar Adrian, Jumat (21/3/2019). Alun-alun di Tugu Pahlawan ini yang paling besar. Lengkap dengan masjid agung, Keraton dan pasar. Tak hanya itu, alun-alun ini juga terdapat pohon beringin di tengahnya. Namun alun-alun berangsur hilang seiring dengan penetrasi pembangunan kota yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda. Sekitar tahun 1800-an Belanda menghancurkan masjid agung. "Saat penghancuran ini, Belanda mendapat perlawanan dari para kiai. Ada tokoh kiai disitu, Mbah Sedo Masjid yang kini makamnya di Selatan Tugu Pahlawan melakukan perlawanan," ungkapnya. Untuk meredam, Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya memindahkan Masjid Agung ke lokasi yang sekarang dikenal sebagai Masjid Kemayoran. Belanda menebus dengan membangun ulang masjid agung yang telah dihancurkan. "Sementara untuk Alun-alun Contong dikelilingi pohon di samping, dan tengah ada beringinnya juga," tuturnya. Keterangan Adrian, Alun-alun Contong difungsikan lebih kepada tempat kuda raja Keraton Surabaya. Alun-alun, menurut Adrian dalam tatanan kawasan kota telah ada sejak Kerajaan Majapahit. Ciri alun-alun yang umumnya berbentuk kotak terus dipertahankan ketika Islam mulai banyak dianut masyarakat Jawa. Kerajaan Islam di Jawa tetap membangun alun-alun sebagai pusat kota. Dengan masjid di sisi Barat dan Keraton di Selatan. Sedangkan letak pasar, tergantung orientasi masing-masing kerajaan. Di tengahnya ada pohon beringin, yang melambangkan pengayom. "Alun-alun berfungsi untuk audiensi, dimana raja berkomunikasi dengan rakyatnya. Kalau ada orang atau kawulo yang ingin menyampaikan aspirasi, biasanya dilakukan di alun-alun," ungkap Adrian. Selain itu, fungsi alun-alun juga sebagai tempat pertunjukkan adu macan dengan macan atau macan dengan banteng. Tradisi ini dikenal dengan rampog atau rampok macan. Sebuah upacara kurban Jawa yang berlangsung selama abad ketujuh belas sampai awal abad kedua puluh. Awalnya dilakukan dalam alun-alun kerajaan Jawa saja, rampokan macan terdiri dari dua bagian; sima-Maesa, pertarungan di kandang antara kerbau dan harimau. Dan rampogan sima, yang beberapa harimau diposisikan dalam lingkaran para pria bersenjatakan tombak dan meninggal apabila mencoba melarikan diri. "Rampogan macan ini biasanya di gelar di alun-alun," tandasnya. (tea/abi) Foto: Alun-alun Contong (Jalan Kearah Gemblongan) awal tahun 1900 (Dok. KITLV)

Ikuti update berbagai berita pilihan dan terkini dari portaltiga.com di Google News.

Berita Terkait